Mengenal Akademi Perawat

Mengenal Akademi Perawat

Posted by Unknown  |  at  8:22 AM

Buntet Pesantren Cirebon memiliki perguruan tinggi bernama Akademi Perawat atau Akper Buntet Pesantren. Kelebihannya, selain mendalami ilmu keperawatan plus mereka para mahasiswa diajarkan kehidupan sosial masyarakat yang diajarkan pesantren.

Akademi Keperawatan Buntet Pesantren

Akademi keperawatan ini diperkirakan berjumlah mata kuliah sebanyak SKS : 110. Silakan jika Anda yang menginginkan informasi lebih jauh bisa menghubungi alamat berikut ini:

Alamat : 0231-635747-636985
Telepon Program Studi : 0231-635747-636985
Website : www.akper.buntetpesantren.org

Mulai Beroperasi : 2005-05-10
Nomor SK DIKTI : 47/D/O/2005
SK DIKTI Berakhir : 2007-05-10
Ketua Prodi :SUPRIYATNA
Visi
    menghasilkan Ahli Madya Keperawatan Yang Bertakwa Kepada Allah Swt, Berakhlak Mulia, Profesional,memiliki Intelektualitas Tinggi, Terampil Dan Mandiri Melalui Peningkatan Kualitas Intelektual Dan Rohani/akhlakul Karimah

Misi

Menghasilkan Ahli Madya Keperawatan Yang Bertakwa Kepada Allah Swt, Berakhlak Mulia,profesional,memiliki Intelektual Tinggi, Terampil Dan Mandiri

Perkiraan Biaya Kuliah (on Progress)

Pembayaran Awal Masuk / Sumbangan Pembangunan : Rp. ,-
SPP : : Rp. ,-

Komposisi Dosen Pengajar

Kualifikasi Dosen Pengajar

Jumlah

Sarjana S1S-115 orang
Data dosen mungkin berbeda dengan adanya dosen yang melanjutkan pendidikan saat data diinput
Data akan disesuaikan saat update berikutnya.

Dosen Pengajar Keperawatan Akademi Keperawatan Buntet Pesantren
  • Ismatul Maula ,S.Psi
  • Adi Muhaeriadi ,S.Kep
  • Anto Susvollyanto ,S.K.M.
  • Mukhamad Mamnun ,S.Ag
  • Supriyatna ,S.K.M.
  • Yanti Susanti ,S.Pd
  • Rodini ,S.Kep
  • R Deni Indrawan ,S.Kep
  • Abdal Rohhim ,S.Kep
  • Lilis Yuliarsih ,S.K.M.
  • Wahyu Hartini ,S.Kep
  • Nevi Kuspiana Lesmana ,S.Kep
  • Siti Lia Amaliah ,S.Kep
  • Maesaroh ,S.K.M.
  • Susi Sri Novianti ,S.Kep

** (Untuk Staf Prodi Universitas Bersangkutan)  Silahkan Setor Laporan Terbaru anda ke DIKTI dengan Baik dan benar.
Kesalahan Laporan akan mengakibatkan kesalahan data Keterlambatan Laporan mengakibatkan data tidak Up TO date.
Terimakasih. 
Sumber: DIKTI.
 

Mengenang KH. Mahfudz Bakri

Mengenang KH. Mahfudz Bakri

Posted by Unknown  |  at  2:57 AM

Cirebon berduka, wabil khusus keluarga Buntet Pesantren Cirebon, karena ulama kharismatik keluarga Buntet Pesantren, mantan Ketua MUI Kota Cirebon, KH. Mahfudz Bakri telah meninggalkan kita semua dalam usia 71 tahun. Tokoh NU itu akan dikebumikan di lingkungan Pondok Pesantren Buntet, hari ini (Senin, 17/12).

Putra kedua KH Mahfudz, Muhammad Nidzon menjelaskan, sang ayah memang sudah dirawat di RSUD Gunung Jati sejak Sabtu (8/12) lalu. Namun saat ditanya sakit apa, Nidzon enggan memberitahu. “Memang sudah sakit dan dirawat di RSUD Gunung Jati selama 8 hari,” ujarnya saat ditemui di rumah duka, Jl Kasepuhan, kemarin.

Rencananya, KH Mahfudz Bakri dikebumikan di Pesantren Buntet, sekitar pukul 09.00 WIB hari ini. “Terima kasih untuk masyarakat dan pihak yang selama ini bersama-sama dengan bapak, semoga bapak mendapat tempat yang sesuai. Saya juga atas nama keluarga meminta maaf apabila selama ini bapak punya kesalahan,” ujarnya.

Rumah duka berapa di Jl Kasepuhan, sekitar seratusan orang datang berbondong-bondong untuk melayat. Masyarakat sekitar dan sejumlah anak didik KH Mahfudz turut hadir dan berduka. Bahkan sejumlah tokoh seperti Buya Yahya, Sekretaris Daerah Kota Cirebon, Drs H Hasanudin Manap MM dan Anggota DPRD Kota Cirebon, H Ahmad Azrul Zuniarto SSi Apt pun hadir untuk melayat. “Beliau adalah guru yang sangat konsisten mengajarkan Alquran, seorang kiai yang sangat bersahaja dan tokoh yang sangat bijak,” ujar Azrul Zuniarto, kemarin.

Salah satu nasehat beliau yang banyak diketahui masyarakat adalah ungkapan yang terkenal: "Al Imaanu motorun wareemun..." iman adalah motor sekaligus juga rem bagi seseorang. Miliki dan tetap biarkan hidup menyubur di hamparan taman nurani kita." Begitulah pesan haul beliau kepada kita saat ceramah Haul Buntet Pesantren Cirebon beberapa waktu lalu. (R CRB)


Kisah Sang Musafir

Kisah Sang Musafir

Posted by Unknown  |  at  5:25 AM



Dikisahkan pada suatu masa ada seorang musafir  yang sedang melakukan perjalanan jauh menunggangi kuda. Di tengah perjalanan, ia dihentikan oleh seseorang yang sedang terduduk dan nampak tak berdaya. Setelah musafir itu turun dari kudanya, orang itu mulai mengiba.

“Tuan, tolong bawa saya ke kota. Saya sudah terdampar di tengah gurun pasir ini selama berhari-hari. Saya tidak makan dan tidak minum. Badan saya lemas dan tak kuat lagi berjalan.”

Lalu, tanpa pikir panjang, musafir itu menaikkan orang tadi ke atas punggung kudanya. Namun, ketika orang tadi sudah duduk di atas punggung kuda, dia langsung meraih kendali kuda dan menghela kuda itu berlari jauh meninggalkan sang musafir.

Di kejauhan, orang yang ternyata pencuri kuda itu menghentikan kuda curiannya dan berteriak sambil terbahak menertawakan kebodohan sang musafir.

“Hahaha.. Dasar kau musafir bodoh, mau saja kutipu mentah-mentah. Hahaha..”

Sebelum berlari lebih jauh, sang musafir itu cepat berteriak kepada pencuri kudanya.

“Bawa saja kudaku. Aku ikhlas. Tapi, tolong jangan ceritakan kepada siapapun bagaimana kau mendapatkannya. Aku takut tidak akan ada lagi musafir yang mau menolong orang yang kesusahan di tengah jalan.”


Tidak diceritakan apakah pada akhirnya pencuri itu mengembalikan kuda curiannya dan bertobat, atau dia terus saja pergi meninggalkan sang musafir di tengah gurun pasir. Saya pun tidak begitu yakin apakah ini kisah nyata atau sekadar tamsil (perumpamaan) untuk kita. Tapi, poin penting dari kisah ini adalah bahwa prasangka buruk bisa menjadi sangat berbahaya. Jika saja pencuri kuda itu menceritakan tentang aksi penipuannya dan cerita itu berkembang di masyarakat, maka musafir yang pernah mendengar cerita itu mungkin akan berprasangka buruk terhadap orang yang benar-benar sedang kesusahan, lalu akhirnya memutuskan untuk tidak menolongnya sama sekali.

Prasangka buruk memang sesuatu yang manusiawi dan wajar, sama wajarnya dengan merasa marah, sedih, dan lapar. Tapi, semuanya bisa ditahan. Kita yang memutuskan. Dan, jangan salah, keputusan kita untuk menahannya atau tidak menahannya akan berpengaruh juga terhadap orang lain di sekitar kita.

Saya jadi teringat dengan law of attraction yang mengatakan bahwa pikiran positif akan memancarkan energi positif terhadap lingkungan yang akhirnya membuahkan hasil positif. Begitu pula sebaliknya. Sebuah kisah nyata yang pernah saya dengar adalah dari rombongan haji Cirebon. Salah satu anggota jamaah haji ada yang membawa tiga buah ponsel ke Tanah Suci karena takut barangkali salah satunya hilang maka masih ada yang lain. Dan, benar saja, ketika pulang ke tanah air ponsel yang dibawanya tinggal satu karena dua ponsel lainnya hilang.

Akhirnya, Tuhan memang punya kehendak. Tapi, untuk beberapa hal tertentu, kehendaknya terjadi setelah kita mengusahakannya terlebih dahulu. Terima kasih sudah membaca.

Peta Lokasi

Peta Lokasi

Posted by Unknown  |  at  2:09 AM

Peta Lokasi Buntet Pesantren Cirebon.






 Rute:

Mobil Pribadi: 
Jakarta - Semarang via Tol kanci, keluar TOL Kanci 
Mobil Umum:
Terminal Cirebon - Ciledug via Sindang Laut - Turun LPI Buntet Pesantren
Mobil 

Nurturing Tolerance in Pesantren

Nurturing Tolerance in Pesantren

Posted by Unknown  |  at  7:16 AM


Back five years ago in a pesantren (Islamic boarding school) in the small city of Jombang, East Java, amidst a tranquil crack of dawn a congregation of male santris (students of pesantren) was performing their morning prayer in the mosque. While they were absorbed in the rituals, a Dutch Catholic priest who had spent the previous night at the pesantren was observing them from behind. Sitting cross-legged at the outer part of the mosque, he was attentively watching them perform the rituals and patiently waiting for a dialogue with some santris to be scheduled after the prayer.

Later on that day, after a dialogue with santris, the priest had a warm, friendly conversation in the Arabic language with the kyai (leader of pesantren) on various religious and humanitarian issues. The Catholic priest, upon returning to his country, wrote that his stay at the pesantren and dialogues with the santris and kyai was one of the most beautiful moments in his life. He thanked the kyai and santris for their hospitality and warm welcome.

Three years later, the pesantren hosted a multi-religious delegation from a Norway-based inter-faith organization that came to Indonesia to see how religious pluralism is internalized and practiced here. The dialogue between the delegation and the santris was warm, open and sometimes filled with bursts of laughter. The santris enjoyed not only stories about far away life especially among its teenagers, but also the opportunity to practice their English. They had no prejudice at all to the delegation, moreover because one of them who happened to be the leader was a Norwegian Muslim lady with a headgear. The santris and the European guests exchanged views and perspectives on different topics especially relating to the lives of Muslims and Christians in Europe.

The above stories are just two ‘episodes’ in the activities of many pesantrens in Indonesia, including Jombang which is known as a city of thousand pesantrens. Countless Western and non-Muslim researchers and activists have visited and even lived in pesantren for different purposes. Some of them conducted anthropological studies using the popular method of participant observation; some others taught English, while others were interested in learning deeper about Islam. These direct encounters with ‘outsiders’ have been an invaluable experience for santris which has nurtured awareness and appreciation of differences and diversities. It is not surprising, therefore, that pesantrens in Indonesia have produced broad-minded and tolerant personalities and alumni such as Abdurrahman Wahid or Nurcholis Madjid, two out of quite a few Muslim intellectuals and scholars widely reputed for their integrity in religious pluralism.

When asked about religious justification on their openness to outsiders, including non-Muslims, some santris immediately referred to the Prophet Muhammad’s saying that whoever believes in God and in the hereafter, s/he has to respect her/his guest. This prophetic saying (hadith) is a strong religious basis for santris to be confident in respecting their non-Muslim guests. There is no limitation in this hadith as to whom the respect should be addressed in terms of religion, for example to Muslim guests only. The limitation applies in terms of time, which is three days. To a visitor of more than three days, the host is not obligated to give a special treatment.

Another santri refers to the teaching on brotherhood that is prevalent among members or followers of Nahdlatul Ulama or NU (Resurgence of Ulemas), the so-called largest Muslim organization in Indonesia. The teaching advocates three levels of brotherhood that need to be uplifted in pursuing peaceful coexistence of all humankind. First, is brotherhood among Muslims (ukhuwwah Islamiyah); second, is brotherhood among people of the same nation (ukhuwwah wathoniyah), and third, brotherhood among all human beings (ukhuwwah basyariyah) regardless of their race, ethnicity, religion and nationality.
The above illustration of tolerance and pluralism in pesantren might sound ‘awkward’ amongst the emerging stigmatization against pesantren in the aftermath of the JW Marriot bombing. The suicide bomber, Amsar, reportedly was an alumnus of a pesantren, the Al-Mukmin in Ngruki, which is led by the alleged cleric Abu Bakar Ba’asyir. This association of pesantren with a suicide bomber can obviously ruin the image of moderate and tolerant santris in thousands of pesantrens who have demonstrated these traits as their built-in characters as illustrated in the examples above. From outside, judged from the names or physical appearance, these two types of pesantren may look alike. But in terms of teachings and moral values nurtured they are completely contradictory, just like night and day. In a pesantren like Ngruki, a dialogue with ‘the other’ (people with different interpretations of Islam or those who are non Muslim) would not be possible. These people are regarded as ‘kafir’ or infidels and there is no point in dialoguing with them. Their blood is even considered ‘halal,’ meaning that it is allowable to shed their blood. So, one should never make any generalization when talking about pesantren. There are thousands of moderate pesantrens, but there are radical pesantrens, as few as five according to Sidney Jones, that appear like, to borrow the term used by Bassam Tibi in his book The Challenge of Fundamentalism, ‘a horse of another colour.’

One unique characteristic of moderate pesantrens which has enabled them to produce tolerant and pluralistic people is their balance in teaching Islamic legal aspects (Fikih) and the spirituality (Sufism). This approach can be traced back to derive from the nine saints (wali songo) who spread Islam on the island of Java peacefully. This spirituality dimension is what probably missing in radical pesantrens, who prefer to stand in a binary position: right/wrong, halal/haram, me/the other, heaven/hell, etc. As a result, they produce people with an exclusionary stance who see the world as black and white and who lack the beauty and inner meaning of the religion: peace, tolerance, respect, love and care for others, and other esoteric and humanitarian traits.

This type of Islam is not typical Indonesian. Islam in Indonesia has been known as tolerant, pluralistic and adaptable to local cultures. But the last three decades have witnessed the growing phenomenon of Islamic fundamentalism that tends to practice religious teachings in a rigid and exclusive way. Moderate pesantrens should be alert of this and enhance their teachings on pluralism to their santris.

Lily Zakiyah Munir 
Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS)
From The Jakarta Post, 5 September 2003









Under Construction Web

Under Construction Web

Posted by Unknown  |  at  9:14 PM

Website Buntet Pesantren masih dalam proses pembuatan. Dengan segala keterbatasan, kami berusaha untuk bisa tampil kembali di hadapan publik, setelah website yang lama dirusak oleh seseorang sehingga semua data habis tak tersisa. Hikmahnya, kita perlu waspada terhadap dunia cyber, karena tidak semua perusak website itu adalah urusan profite. Dalam kasus rusaknya website buntetpesantren.org ini adalah karena iseng atau tanpa sengaja.

Basis website yang tengah dibuat ini, menggunakan Blogger dari Google sebagai interfacenya adapun hosting menggunakan server Indonesia.

Ada alasan tersendiri kenapa sudah beli hosting tetapi menggunakan platform Blogger dari Google. Hal ini tidak lain demi keamanan dan kemudahan. Ada beberapa alasan:
1. lebih aman di Google server
2. interfacenya lebih cepat
3. infrastrukturnya terjamin
4. keamanan lebih menentramkan dibanding server sendiri

Mohon saran dan masukan yang berguna bagi BuntetPesantren.org dan komunitasnya.

salam

Redaksi

The Rise of Buntet Pesantren

The Rise of Buntet Pesantren

Posted by Unknown  |  at  8:55 PM

Buntet Pesantren as one of the oldest pesantren in Java was first established in 1750 by Kyai Muqayim bin Abdul Hadi, known as Mbah Muqayim. He was  the Court Religious Official (mufti) of the Kanoman Sultanate.

Read next...

Copyright © 2013 Blog Backup Buntet Pesantren. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top