Raker FORSILA BPC

Raker FORSILA BPC

Posted by Unknown  |  at  12:49 PM

FORSILA BPC (Forum Silaturahmi Alumni Buntet Pesantren)
JAKARTA RAYA MENGADAKAN RAPAT KERJA



(Forsila BPC News) Bertepatan dengan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang
jatuh pada hari kamis tanggal 20 Maret 2008, FORSILA BPC mengadakan
rapat kerja (RAKER) untuk membahas program kerja selama setahun
kedepan.

Acara dimulai tepat pukul 10.00 WIB. Namun sebelumnya seperti
biasa dimulai dengan pembacaan alquran, dan salawat yang di lantunkan
oleh Lidyatul barokah yang merupakan pengurus FORSILA BPC 2008-2009.
Acara yang dibuka oleh mantan pengurus FORSILA BPC ini berlangsung
secara sederhana tapi tidak mengurangi rasa solidaritas sesama anggota
FORSILA BPC. Hadir dalam acara itu adalah mantan pengurus FORSILA BPC
seperti Kang Zaim Nugroho dan Kang Sifa Sofwan (Wawan).



Dalam RAKER tersebut para anggota FORSILA BPC menyepakati beberapa
program kerja selama satu tahun kedepan, program tersebut dibagi dalam
beberapa departemen dianataranya pelatihan dan pemberdayaan anggota,
dalam depeartemen ini disepakati bahwa anggota FORSILA BPC akan
mengadakan kajian ilmiah (diskusi, red) setiap dua minggu sekali.
Departemen ini juga dituntut mampu mengadakan seminar atau bedah buku
mininmal satu kali dalam setahun serta mengadakan ta’aruf bagi anggota
baru demi tercapainya kaderisasi anggota.

Di departemen lainya seperti departemen Jaringan dan Komunikasi,
departemen ini mempunyai program kerja yaitu mengadakan pelatihan
jurnalistik serta mencetak kader FORSILA BPC agar mampu dalam bidang
jurnalistik serta dapat berkontribusi penuh serta bersinergi dengan
website buntetpesantren.com.

Pemberdayaan anggota merupakan tema sentral dalam RAKER ini, mengingat
banyaknya kader FORSILA BPC yang masuk perguruan tinggi serta belum
tertatanya secara baik kaderisasi alumni buntet pesanten yang ada di
Jakarta. “kaderisasi adalah hal yang paling penting”, demikan salah
satu petikan dalam sambutan ketuan umum FORSILA BPC tahun 2008-2009
Muhammad Aminullah.

Lebih jauh menurut Amin, panggilan akrabnya, FORSILA BPC adalah forum
yang ingin mempertahankan semangat tradisi pesantren ditengah arus
globalisasi yang semakin deras. FORSILA BPC juga dituntut mampu
menciptakan kader yang turut andil dalam arus globalisasi tampa hanyut
dan tetap mempertahankan tradisi pesantren. Semangat inilah yang
melandasi kelahiran FORSILA BPC sebagai wadah bagi alumni yang ingin
menempuh jenjang perguruan tinggi.

Banyaknya fenomena gerakan islam saat ini yang tidak mempunyai basis
kultur yang jelas serta tidak mempunyai visi keindonesiaan sedikit
banyak mempengaruhi tradisi pemikiran alumni buntet. ” Sudah banyak
alumni buntet yang di Jakarta tidak lagi mengunakan kultur pesantren
serta ikut gerakan Islam yang cenderung ber idiologis” ujar Hamzah
Nasrullah, Kabid Pelatihan dan Pemberdayaan Anggota.

FORSILA merupakan organisasi Alumni Buntet pesantren yang ada di
wilayah jabodetabek, Forum merupakan saran dan tempat gendu gendu rasa
bagi para alumni buntet pesantren. Anggota FORSILA BPC sebagian besar
adalah mahasiswa yang berdomisili di ciputat, meskipun ada banyak juga
kader FORSILA BPC yang berada di tempat lain. (Nugros)

Raker FORSILA BPC

Raker FORSILA BPC

Posted by Unknown  |  at  12:49 PM

FORSILA BPC (Forum Silaturahmi Alumni Buntet Pesantren)
JAKARTA RAYA MENGADAKAN RAPAT KERJA



(Forsila BPC News) Bertepatan dengan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang
jatuh pada hari kamis tanggal 20 Maret 2008, FORSILA BPC mengadakan
rapat kerja (RAKER) untuk membahas program kerja selama setahun
kedepan.

Acara dimulai tepat pukul 10.00 WIB. Namun sebelumnya seperti
biasa dimulai dengan pembacaan alquran, dan salawat yang di lantunkan
oleh Lidyatul barokah yang merupakan pengurus FORSILA BPC 2008-2009.
Acara yang dibuka oleh mantan pengurus FORSILA BPC ini berlangsung
secara sederhana tapi tidak mengurangi rasa solidaritas sesama anggota
FORSILA BPC. Hadir dalam acara itu adalah mantan pengurus FORSILA BPC
seperti Kang Zaim Nugroho dan Kang Sifa Sofwan (Wawan).



Dalam RAKER tersebut para anggota FORSILA BPC menyepakati beberapa
program kerja selama satu tahun kedepan, program tersebut dibagi dalam
beberapa departemen dianataranya pelatihan dan pemberdayaan anggota,
dalam depeartemen ini disepakati bahwa anggota FORSILA BPC akan
mengadakan kajian ilmiah (diskusi, red) setiap dua minggu sekali.
Departemen ini juga dituntut mampu mengadakan seminar atau bedah buku
mininmal satu kali dalam setahun serta mengadakan ta’aruf bagi anggota
baru demi tercapainya kaderisasi anggota.

Di departemen lainya seperti departemen Jaringan dan Komunikasi,
departemen ini mempunyai program kerja yaitu mengadakan pelatihan
jurnalistik serta mencetak kader FORSILA BPC agar mampu dalam bidang
jurnalistik serta dapat berkontribusi penuh serta bersinergi dengan
website buntetpesantren.com.

Pemberdayaan anggota merupakan tema sentral dalam RAKER ini, mengingat
banyaknya kader FORSILA BPC yang masuk perguruan tinggi serta belum
tertatanya secara baik kaderisasi alumni buntet pesanten yang ada di
Jakarta. “kaderisasi adalah hal yang paling penting”, demikan salah
satu petikan dalam sambutan ketuan umum FORSILA BPC tahun 2008-2009
Muhammad Aminullah.

Lebih jauh menurut Amin, panggilan akrabnya, FORSILA BPC adalah forum
yang ingin mempertahankan semangat tradisi pesantren ditengah arus
globalisasi yang semakin deras. FORSILA BPC juga dituntut mampu
menciptakan kader yang turut andil dalam arus globalisasi tampa hanyut
dan tetap mempertahankan tradisi pesantren. Semangat inilah yang
melandasi kelahiran FORSILA BPC sebagai wadah bagi alumni yang ingin
menempuh jenjang perguruan tinggi.

Banyaknya fenomena gerakan islam saat ini yang tidak mempunyai basis
kultur yang jelas serta tidak mempunyai visi keindonesiaan sedikit
banyak mempengaruhi tradisi pemikiran alumni buntet. ” Sudah banyak
alumni buntet yang di Jakarta tidak lagi mengunakan kultur pesantren
serta ikut gerakan Islam yang cenderung ber idiologis” ujar Hamzah
Nasrullah, Kabid Pelatihan dan Pemberdayaan Anggota.

FORSILA merupakan organisasi Alumni Buntet pesantren yang ada di
wilayah jabodetabek, Forum merupakan saran dan tempat gendu gendu rasa
bagi para alumni buntet pesantren. Anggota FORSILA BPC sebagian besar
adalah mahasiswa yang berdomisili di ciputat, meskipun ada banyak juga
kader FORSILA BPC yang berada di tempat lain. (Nugros)

Menginovasi Syair Al-Barzanji

Menginovasi Syair Al-Barzanji

Posted by Unknown  |  at  7:51 AM






Oleh Irham Sya’roni

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang Jawa menyebutnya Muludan) sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal).




Di antara yang berbasis tradisi adalah: Sekaten di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya.

Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanji (lisan Jawa menyebutnya ‘Berjanji’ atau ‘Berjanjen’). Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.

Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup nasab-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan manusia.

Judul aslinya adalah 'Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja'far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.

Relasi Berjanji dan Muludan
Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas Leiden, dalam bukunya yang berjudul Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW (INIS, 1994). Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di balik perayaannya.

Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai bid’ah (mengada-ada dalam beribadah).

Adapun Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan Maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali atau merevitalisasi Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusaders (Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi.

Adapun historisitas al-Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M. Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan.

Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, akikah dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.

Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab Shimthu al-Durar karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi. Ada pula al-Burdah karya al-Bushiri dan al-Diba’ karya Abdurrahman al-Diba’iy. Namun, yang masyhur di masyarakat adalah al-Barzanji dan al-Diba’.

Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.

Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.

Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan? Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas (syarh) dari al-Barzanji, yaitu kitab Madarij al-Shu’ud karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman mereka semakin komprehensif.

Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya, penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.

Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralkan itu.

Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.

Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi. Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang dalam pertempuran.

Penulis adalah Staf pada Pondok Pesantren Darul-Hikmah, Yogyakarta

Menginovasi Syair Al-Barzanji

Menginovasi Syair Al-Barzanji

Posted by Unknown  |  at  7:51 AM






Oleh Irham Sya’roni

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang Jawa menyebutnya Muludan) sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal).




Di antara yang berbasis tradisi adalah: Sekaten di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya.

Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab al-Barzanji (lisan Jawa menyebutnya ‘Berjanji’ atau ‘Berjanjen’). Membaca Barzanji seolah menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.

Al-Barzanji adalah karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur tentang biografi Muhammad, mencakup nasab-nya (silsilah), kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan manusia.

Judul aslinya adalah 'Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, dalam perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu Syekh Ja'far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.

Relasi Berjanji dan Muludan
Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas Leiden, dalam bukunya yang berjudul Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW (INIS, 1994). Menurutnya, Maulid Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di balik perayaannya.

Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak memperingati karena dinilai bid’ah (mengada-ada dalam beribadah).

Adapun Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai perintis peringatan Maulid, sebenarnya hanya berperan menghidupkan kembali atau merevitalisasi Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusaders (Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi.

Adapun historisitas al-Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M. Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan.

Di Indonesia, tradisi Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran, akikah dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.

Selain al-Barzanji, terdapat pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian Nabi. Misalnya, kitab Shimthu al-Durar karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi. Ada pula al-Burdah karya al-Bushiri dan al-Diba’ karya Abdurrahman al-Diba’iy. Namun, yang masyhur di masyarakat adalah al-Barzanji dan al-Diba’.

Inovasi Baru
Esensi Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.

Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme seseorang akan lahir jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.

Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami bait-bait indah al-Barzanji sehingga menjadikannya ispirator dan motivator keteladanan? Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah kajian khusus terhadap referensi penjelas (syarh) dari al-Barzanji, yaitu kitab Madarij al-Shu’ud karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman mereka semakin komprehensif.

Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa seperti itu. Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya, penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.

Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam) secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap aktivitas yang kadung tersakralkan itu.

Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan menekankan aspek keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta.

Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi lebih baik sebagaimana Nabi. Dan semoga, Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang dalam pertempuran.

Penulis adalah Staf pada Pondok Pesantren Darul-Hikmah, Yogyakarta

Kilas Balik Perlawanan Santri Babakan

Kilas Balik Perlawanan Santri Babakan

Posted by Unknown  |  at  6:19 AM






babakan2.jpgOleh Jamaluddin Mohammad

Pada 1808, seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.

Daendels merupakan satu-satunya Gubernur Jenderal yang tidak diangkat Ratu Belanda, melainkan diangkat Maharaja Louis Bonaparte, adik kandung Napoleon Bonaparte, untuk memegang kekuasaan di Jawa. Waktu itu, Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis. Dan, Napoleon mengangkat adiknya sebagai raja Belanda.





Untuk memperlancar gerak pasukan, Daendels berencana membangun “jalan raya pos” yang sekarang lebih dikenal dengan “jalan Daendels”. Ia khawatir sewaktu-waktu Inggris datang menyerang. Dalam membangun mega proyek itu, Daendels menggunakan ‘tangan besi’. Ia memaksa sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja rodi, tanpa dibayar sepeserpun. Akibatnya, ribuan orang terkapar mati di jalan yang sekarang kita nikmati itu. Setiap ada perlawanan, selalu ditekan dan dibungkam.

Pramoedya Ananta Toer melukiskan pembangunan jalan itu sebagai genosida, pembunuhan masal. Para petani, waktu itu menganggap Daendels sebagai momok menakutkan. Bahkan, orang-orang Belanda di Batavia menyebutnya sebagai pengkhianat karena lebih setia pada Napoleon. Sebagai wujud kesetiaannya itu, ia pernah mengibarkan bendera Perancis di Batavia. Padahal, orang Belanda lebih senang dijajah Inggris ketimbang Perancis.

Kisah Daendels berakhir setelah jabatannya dicopot pada 1811. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu merekam sejarah kelam yang mengendap dalam ingatan kolektif bangsa ini. Namun, bagi ulama dan santri Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, sejarah Daendeles merupakah sejarah perlawanan, pertentangan, sekaligus kisah heroik.

Kiai Hasanuddin, pendiri pesantren yang dibangun pada 1715 itu, adalah salah seorang pahlawan yang lantang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Daendels. Hasanuddin, atau lebih dikenal dengan Kiai Jatira, bersama masyarakat dan santri-santrinya, memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.

Bagi Kiai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.

Waktu itu,  Kiai Jatira dituduh telah melakukan tindakan makar, melawan negara, pemberontak, menghambat pembangunan, dan tuduhan-tuduhan lain yang sengaja dibuat dan diciptakan pemerintah kolonial. Sejatinya, tuduhan-tuduhan tersebut hanyalah “alat pembenaran” untuk melumpuhkan, membungkam, menekan, dan menghentikan perlawanan Kiai Jatira. Namun, meski mendapatkan stereotype seperti itu, Kiai Jatira bersama santri dan masyarakat, tetap berkeyakinan bahwa kebenaran, keadilan, kebebasan, harga diri, dan kedaulatan harus tetap dimiliki dan terus diperjuangkan sampai tetes darah penghabisan.

Neo kolonialisme-imperialisme
Setelah penjajah hengkang dari Nusantara, Pesantren Babakan, Ciwaringin, kembali berurusan dengan “jalan”. Kali ini, terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan)—salah satu mega proyek tol trans-Jawa yang meniru proyek Daendels.

Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran  (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,3 triliun itu. Apalagi trase yang akan dilalui jalan tersebut rencananya akan mengenai tanah pesantren. Darah kepahlawanan yang mengalir dalam tubuh cucu-cucu penerus Kiai Jatira seketika itu mendidih. Api perlawanan kembali dinyalakan.

Kiai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini paralel dengan apa yang dilakukan Kiai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kiai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan. Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.

Di samping itu, para kiai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain. “...tanah tersebut merupakan amanat leluhur kami agar dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan pendidikan,” kata KH Makhtum Hannan, sesepuh dan tokoh kharismatik Pesantren Babakan, Ciwaringin, suatu ketika.

Sejatinya, kalau kita telisik kasus ini lebih dalam lagi, problemnya bukan hanya sebatas tanah, masa depan pendidikan, atau soal setuju/tidak terhadap “pembangunan”, melainkan sudah menyentuh soal hak, kebebasan, dan keadilan. Mereka punya hak dan kebebasan untuk mengolah tanah dan menentukan sendiri masa depan mereka. Penolakan hanyalah salah satu bentuk resistensi masyarakat tradisional terhadap “modernisme” atau “pembangunanisme” yang acapkali merugikan dan tidak berpihak pada mereka.

Dengan dalih “pembangunan”, “untuk kepentingan umum”, atau “meningkatkan perekonomian rakyat”, penguasa seringkali tega merampas dan mengorbankan tanah rakyat, seperti untuk pembangunan jalan layang, jalan tol, plaza dan supermarket, pembangunan waduk, PLTU/PLTN, proyek perkebunan, atau pembangunan tempat-tempat hiburan dan sarana olahraga untuk orang-orang kaya.

Kalau kita mau jujur, sebetulnya siapa yang diuntungkan? Rakyat, penguasa, atau segelintir orang yang memiliki modal besar? Yang jelas, jawabannya bukan rakyat. Rakyat hanyalah “tumbal” pembangunan. Karena itu, kalau memang negara ini punya rakyat, penguasa seharusnya berpihak dan memperjuangkan hak-hak rakyat, menyuarakan kepentingan dan kemauan mereka, dan mengedepankan pembangunan yang pro-rakyat dengan tidak terus menjadikan rakyat sebagai “sesajen” untuk kepentingan pemodal.

Demonstrasi ribuan santri, ulama, mahasiswa dan masyarakat Babakan, Ciwaringin, Cirebon, menolak tol Cikapali memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Secara simbolik, mereka sebetulnya sedang melawan kolonialisme-imperialisme baru yang mewujud dalam kekuatan-kekuatan maha besar-negara, pemodal, atau MNC (Multinasional Coorporation)—yang merenggut hak-hak, kebebasan, dan keadilan kaum lemah dan terpinggirkan.

Penulis adalah Ketua Komunitas Seniman Santri, Staf Pengajar pada Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.
Sumber: nu online

Kilas Balik Perlawanan Santri Babakan

Kilas Balik Perlawanan Santri Babakan

Posted by Unknown  |  at  6:19 AM






babakan2.jpgOleh Jamaluddin Mohammad

Pada 1808, seorang Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels (1762-1818) membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer, Jawa Barat, sampai Panarukan, Jawa Timur.

Daendels merupakan satu-satunya Gubernur Jenderal yang tidak diangkat Ratu Belanda, melainkan diangkat Maharaja Louis Bonaparte, adik kandung Napoleon Bonaparte, untuk memegang kekuasaan di Jawa. Waktu itu, Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis. Dan, Napoleon mengangkat adiknya sebagai raja Belanda.





Untuk memperlancar gerak pasukan, Daendels berencana membangun “jalan raya pos” yang sekarang lebih dikenal dengan “jalan Daendels”. Ia khawatir sewaktu-waktu Inggris datang menyerang. Dalam membangun mega proyek itu, Daendels menggunakan ‘tangan besi’. Ia memaksa sultan dan bupati untuk mengerahkan ribuan pekerja rodi, tanpa dibayar sepeserpun. Akibatnya, ribuan orang terkapar mati di jalan yang sekarang kita nikmati itu. Setiap ada perlawanan, selalu ditekan dan dibungkam.

Pramoedya Ananta Toer melukiskan pembangunan jalan itu sebagai genosida, pembunuhan masal. Para petani, waktu itu menganggap Daendels sebagai momok menakutkan. Bahkan, orang-orang Belanda di Batavia menyebutnya sebagai pengkhianat karena lebih setia pada Napoleon. Sebagai wujud kesetiaannya itu, ia pernah mengibarkan bendera Perancis di Batavia. Padahal, orang Belanda lebih senang dijajah Inggris ketimbang Perancis.

Kisah Daendels berakhir setelah jabatannya dicopot pada 1811. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu merekam sejarah kelam yang mengendap dalam ingatan kolektif bangsa ini. Namun, bagi ulama dan santri Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, sejarah Daendeles merupakah sejarah perlawanan, pertentangan, sekaligus kisah heroik.

Kiai Hasanuddin, pendiri pesantren yang dibangun pada 1715 itu, adalah salah seorang pahlawan yang lantang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Daendels. Hasanuddin, atau lebih dikenal dengan Kiai Jatira, bersama masyarakat dan santri-santrinya, memindah patok-patok pengukur jalan agar tidak mengenai tanah masyarakat dan pesantren yang dirintisnya.

Bagi Kiai Jatira, Daendels tidak hanya mengambil tanah rakyat secara paksa, berupaya menghambat dan membunuh pendidikan, melainkan sudah merenggut hak-hak dan kebebasan rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Karena itu, ia bersama para santri dan masyarakat melakukan pembelaan, perlawanan, dan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasannya itu.

Waktu itu,  Kiai Jatira dituduh telah melakukan tindakan makar, melawan negara, pemberontak, menghambat pembangunan, dan tuduhan-tuduhan lain yang sengaja dibuat dan diciptakan pemerintah kolonial. Sejatinya, tuduhan-tuduhan tersebut hanyalah “alat pembenaran” untuk melumpuhkan, membungkam, menekan, dan menghentikan perlawanan Kiai Jatira. Namun, meski mendapatkan stereotype seperti itu, Kiai Jatira bersama santri dan masyarakat, tetap berkeyakinan bahwa kebenaran, keadilan, kebebasan, harga diri, dan kedaulatan harus tetap dimiliki dan terus diperjuangkan sampai tetes darah penghabisan.

Neo kolonialisme-imperialisme
Setelah penjajah hengkang dari Nusantara, Pesantren Babakan, Ciwaringin, kembali berurusan dengan “jalan”. Kali ini, terusik oleh rencana pembangunan jalan tol Cikapali (Cikampek-Palimanan)—salah satu mega proyek tol trans-Jawa yang meniru proyek Daendels.

Tentu saja rencana tersebut mendapat penolakan luar biasa dari para ulama, santri, dan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran  (26/8/2007, 30/11/2007, dan 29/1/2008) menentang proyek yang diperkirakan menghabiskan Rp 4,3 triliun itu. Apalagi trase yang akan dilalui jalan tersebut rencananya akan mengenai tanah pesantren. Darah kepahlawanan yang mengalir dalam tubuh cucu-cucu penerus Kiai Jatira seketika itu mendidih. Api perlawanan kembali dinyalakan.

Kiai, para santri, dan masyarakat meyakini perjuangan mereka saat ini paralel dengan apa yang dilakukan Kiai Jatira dulu ketika melawan Daendeles. Para kiai keberatan karena tanah yang akan dilalui tol adalah tanah ulayat (wasiat/wakaf), yang hanya diperuntukkan untuk pengembangan pesantren ke depan. Di sekelingnya terdapat puluhan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang berbaur dan menyatu dengan pemukiman masyarakat. Keberadaan tol tidak hanya mengganggu proses belajar mengajar, melainkan akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat pesantren, dan menghambat pengembangan pesantren ke depan.

Di samping itu, para kiai dan masyarakat memiliki ikatan emosional dan sejarah yang kuat terhadap tanah tersebut, sehingga tidak mungkin digantikan dengan tanah lain. “...tanah tersebut merupakan amanat leluhur kami agar dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan pendidikan,” kata KH Makhtum Hannan, sesepuh dan tokoh kharismatik Pesantren Babakan, Ciwaringin, suatu ketika.

Sejatinya, kalau kita telisik kasus ini lebih dalam lagi, problemnya bukan hanya sebatas tanah, masa depan pendidikan, atau soal setuju/tidak terhadap “pembangunan”, melainkan sudah menyentuh soal hak, kebebasan, dan keadilan. Mereka punya hak dan kebebasan untuk mengolah tanah dan menentukan sendiri masa depan mereka. Penolakan hanyalah salah satu bentuk resistensi masyarakat tradisional terhadap “modernisme” atau “pembangunanisme” yang acapkali merugikan dan tidak berpihak pada mereka.

Dengan dalih “pembangunan”, “untuk kepentingan umum”, atau “meningkatkan perekonomian rakyat”, penguasa seringkali tega merampas dan mengorbankan tanah rakyat, seperti untuk pembangunan jalan layang, jalan tol, plaza dan supermarket, pembangunan waduk, PLTU/PLTN, proyek perkebunan, atau pembangunan tempat-tempat hiburan dan sarana olahraga untuk orang-orang kaya.

Kalau kita mau jujur, sebetulnya siapa yang diuntungkan? Rakyat, penguasa, atau segelintir orang yang memiliki modal besar? Yang jelas, jawabannya bukan rakyat. Rakyat hanyalah “tumbal” pembangunan. Karena itu, kalau memang negara ini punya rakyat, penguasa seharusnya berpihak dan memperjuangkan hak-hak rakyat, menyuarakan kepentingan dan kemauan mereka, dan mengedepankan pembangunan yang pro-rakyat dengan tidak terus menjadikan rakyat sebagai “sesajen” untuk kepentingan pemodal.

Demonstrasi ribuan santri, ulama, mahasiswa dan masyarakat Babakan, Ciwaringin, Cirebon, menolak tol Cikapali memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Secara simbolik, mereka sebetulnya sedang melawan kolonialisme-imperialisme baru yang mewujud dalam kekuatan-kekuatan maha besar-negara, pemodal, atau MNC (Multinasional Coorporation)—yang merenggut hak-hak, kebebasan, dan keadilan kaum lemah dan terpinggirkan.

Penulis adalah Ketua Komunitas Seniman Santri, Staf Pengajar pada Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat.
Sumber: nu online

Ruh Orang Meninggal Masuk Jasad Orang Hidup ??

Ruh Orang Meninggal Masuk Jasad Orang Hidup ??

Posted by Unknown  |  at  12:17 AM


kemasukan_roh.jpgOleh : Hamba-Mu





Sudah tepat sebenarnya
istilah "meninggal dunia" untuk menunjuk seseorang yang telah wafat,
karena memang yang bersangkutan rohnya meninggalkan jasad. "Meninggalkan
alam dunia" menuju alam lain, alam barzah (alam kubur). Alam yang nun jauh
di sana (melewati beberapa lapisan langit menurut hadits).







Alam tempat
berkumpulnya seluruh arwah orang telah meninggalkan alam dunia. Menunggu sampai
saat kiamat, di mana semua ruh akan dibangkitkan lagi dan dikumpulkan di alam
mahsyar, lalu menuju alam hisab dan berakhir di alam akhirat. Disebut alam
akhirat, karena merupakan alam terakhir, tempat seseorang akan kekal. Apakah di
syurga atau na'udzubillah di neraka.















Dengan demikian, roh seseorang yang telah meninggalkan jasad dan meninggalkan
alam dunia tidak akan kembali (set back) ke alam dunia, karena bila itu
terjadi, berarti menyimpang dari alur





perjalanan yang harus ditempuhnya. Lagi pula di alam kubur, tempat arwah
manusia pertama (Adam a.s.) dan seluruh ruh manusia yang telah mati berkumpul
di sana, bila ia ruh yang shaleh, maka ia akan merasakan nikmatnya alam kubur
dengan ditampakkan kepadanya gambaran keadaan syurga tempat ia kelak akan kekal
di dalamnya.







Sedangkan bila ia ruh kafir atau Muslim yang dosanya melebihi amal
shalehnya, ia akan merasakan adzab kubur dengan ditampakkan kepadanya gambaran
azab neraka jahanam yang kelak akan dirasakannya setelah kiamat terjadi.






Dengan kata lain, bila (ia) ruh hamba Allah yang saleh mustahil akan
meninggalkan kenikmatan alam kubur untuk kembali ke alam dunia. Sedangkan bila
(ia) ruh yang tidak shaleh, mustahil ia berpeluang lolos dari azab kubur untuk
kembali jalan-jalan di alam dunia. Jangankan di alam kubur bahkan pada saat
sakaratulmaut saja, ketika ruh akan bersiap-siap ke luar dari jasad
meninggalkan alam dunia, ruh orang-orang kafir dan orang-orang yang dosanya
lebih berat dibandingkan amal shalehnya sudah mulai merasakan azab Allah SWT.






Firman Allah SWT, "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat sewaktu orang-orang
dzalim (berada) dalam tekanan sakaratulmaut sedang para malaikat memukul dengan
tangannya (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu." Pada hari ini
kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar." (Q.S. al-An'aam:
93).








Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir
seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "rasakanlah olehmu
siksa neraka yang membakar" (Q.S. al-Anfaal: 50). Atau "Kepada mereka
ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat
dikatakan kepada malaikat: "Masukanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab
yang sangat keras." (Q.S. al-Mu'min:46).






Dalam hadits diriwayatkan, Rasulullah Saw memerintahkan para sahabat untuk
memasukkan jasad orang-orang musyrik yang mati dalam perang Badr ke dalam
sebuah lubang, lalu beliau berdiri di depan lubang tersebut sambil berseru
dengan menyebut nama-nama mereka: "Wahai Fulan putra Fulan, apakah kalian
sekarang telah mendapatkan kebenaran yang telah dijanjikan Allah Tuhan
kalian?" Sesungguhnya aku telah mendapatkan kebenaran yang telah
dijanjikan Allah Tuhanku."







Mendengar itu sahabat Umar berkata, "Wahai
Rasullullah bagaimana engkau berdialog dengan kaum yang telah manjadi
bangkai?" Rasulullah Saw bersabda, "Demi Allah yang telah mengutus
aku dengan kebenaran, sesungguhnya tiadalah kalian lebih mendengar dibanding
mereka akan apa yang aku ucapkan tadi. Hanya saja mereka tidak kuasa untuk
menjawabnya." (H.R. Bukhari dan Muslim).






Dari hadits tersebut di atas dapat disimpulkan, bila para arwah tersebut tidak
kuasa menjawab Nabi, padahal beliau orang yang paling mengerti dengan alam
ghaib, maka bagaimana mungkin ada manusia biasa yang dapat berkomunikasi dengan
arwah?






Jadi, bila yang terkadang disaksikan orang dalam kasus kesurupan itu tidak
mungkin arwah orang yang telah mati, maka lebih tidak mungkin lagi bila itu
malaikat hamba Allah yang dimuliakan Allah SWT yang suci dari
perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai Allah SWT, "Mereka itu tidak
mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya." (Q.S. al-Anbiyaa: 27).






Oleh karena itu, yang mungkin terjadi dalam kasus kesurupan adalah ulah syaitan
dari jin yang senantiasa bersaing dengan malaikat untuk menjadi Qarin (teman
pendamping) manusia. Rasulullah Saw bersabda, "Tidak ada seorang manusia
pun bersamanya syaitan." (H.R. Muslim). Firman Allah SWT, "Berkata
"Qorin" (yang menyertai) dia, "Ya Allah Tuhan kami, aku tidak
menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh."
(Q.S. Qaaf: 27).








Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Wallahu a'lam bish-shawab.






 





 

Copyright © 2013 Blog Backup Buntet Pesantren. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top