Perbandingan Metodologi Hadits Sufi Dengan Fuqaha

Posted by Unknown  |  at  3:32 AM

Kita sering melihat dan membaca berbagai kejadian tidak enak yang dialamai para sufi. Mereka mengalami pembunuhan karakter, seperti hukuman mati, dihujat, dianggap sesat, mulhid, pelaku bid’ah, pelaku khurafat, pembohong besar, sampai pengklaiman musyrik dan kafir.
Biasanya pengklaiman-pengklaiman yang dialamatkan kepada para sufi ini dicetuskan oleh sekalangan ahli hadits dan fuqaha yang bukan sufi. Mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh para sufi sebenarnya mengandung kedustaaan dan kesesatan. Kita bisa melihat dari berbagai buku yang menghujat pemikiran tasawuf dan kaum sufi seperti, buku-buku Darah hitam tasawuf, Sejarah hitam Tasawuf, Kontroversi dan kesesatan pemikiran Ibnu Arabi, Kesesatan Alam Pikiran Sufisme, dan yang terakhir Amalan-amalan Musyrik Tahlilan, Tarekat, membaca Barzanji dan Maulidan karya Hartono Ahmad Jaiz.
Kita juga pernah membaca sejarah meninggalnya sufi muda Ainul Qudlat al-Hamadzani yang dihukum mati karena dituduh telah menyodorkan hadits-hadits palsu. Begitu pula dengan kematian Syuhrawardi al-Maqtul yang dituduh dengan tuduhan serupa. Atau pula nasib tragis al-Hallaj.
Dari beberapa pertikaian antara fuqaha dan ahlul hadits dengan para sufi dapat diambil kesimpulan bahwa pertikaian diantara mereka dikarenakan kaum sufi dituduh sering menggunakan hadits lemah dan bahkan palsu. Hal ini yang menyebabkan kalangan ahli hadits dan fuqaha menganggap kaum sufi sebagai kaum pembual yang menghalalkan segala cara untuk mencari simpati dan membenarkan pengalaman batinnya. Ini dibuktikan oleh saya sendiri ketika menghadiri perkuliahan Dr. Luhfi Fathullah seorang doktor hadits lulusan Syiria. Beliau menyatakan bahwa orang-orang sufi selalu mengatasnamakan Nabi dalam berbagai permasalahan dan persoalan kaum sufi. Mereka menjustifikasi bahwa teori-teori tasawuf berdasarkan hadits-hadist yang disebutkan para sufi yang menurutnya hadits tersebut adalah palsu. Hal ini juga bertujuan untuk mengambil hati orang-orang agar mengikuti jejak para sufi.
Dilain waktu saya juga pernah mendengar perkataan KH. Ali Musthafa Ya’qub, salah satu ketua MUI yang dikatakan sebagai ahli hadits di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Beliau menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfi…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah. Menurutnya bagaimana mungkin dua orang yang berbeda masa dan zaman bertemu secara mubasyarah dan saling bercakap. Jika demikian bisa dilakukan kenapa Rasulullah tidak menemui Sayyidina Ali atau Muawiyah ketika mereka berperang?
Dengan kata lain menurut kalangan ahli hadits hadits yang shahih adalah hadits yang tsiqah rawinya, dan sampai pada peringkat sahabat sehingga sahabat yang mendapatkan hadits tersebut dari rasulullah langsung. Dan mustahil seorang tabi’in-atau tabiuttabi’in mendapatkan hadits langsung dari rasulullah saw.
Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan.
Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfi…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih.
Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.
Solusinya…
Menurut hemat saya ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf. Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
Dari perbedaan sistem yang diterapkan kedua kubu ini saya mengharapkan agar ummat Islam, khususnya and-anda lulusan Buntet dapat bersikap bijaksana ketika menghadapi berbagai kasus fiqh, tasawuf dan mengambilan dalil-dalil hukumnya supaya tidak menjadi orang yang ekslusif. Maka jadilan anda orang Islam yang inklusif!
Semoga bermanfaat. Wallahua’lam. Wassalam!

0 comments:

Perbandingan Metodologi Hadits Sufi Dengan Fuqaha

Posted by Unknown  |  at  3:32 AM

Kita sering melihat dan membaca berbagai kejadian tidak enak yang dialamai para sufi. Mereka mengalami pembunuhan karakter, seperti hukuman mati, dihujat, dianggap sesat, mulhid, pelaku bid’ah, pelaku khurafat, pembohong besar, sampai pengklaiman musyrik dan kafir.
Biasanya pengklaiman-pengklaiman yang dialamatkan kepada para sufi ini dicetuskan oleh sekalangan ahli hadits dan fuqaha yang bukan sufi. Mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh para sufi sebenarnya mengandung kedustaaan dan kesesatan. Kita bisa melihat dari berbagai buku yang menghujat pemikiran tasawuf dan kaum sufi seperti, buku-buku Darah hitam tasawuf, Sejarah hitam Tasawuf, Kontroversi dan kesesatan pemikiran Ibnu Arabi, Kesesatan Alam Pikiran Sufisme, dan yang terakhir Amalan-amalan Musyrik Tahlilan, Tarekat, membaca Barzanji dan Maulidan karya Hartono Ahmad Jaiz.
Kita juga pernah membaca sejarah meninggalnya sufi muda Ainul Qudlat al-Hamadzani yang dihukum mati karena dituduh telah menyodorkan hadits-hadits palsu. Begitu pula dengan kematian Syuhrawardi al-Maqtul yang dituduh dengan tuduhan serupa. Atau pula nasib tragis al-Hallaj.
Dari beberapa pertikaian antara fuqaha dan ahlul hadits dengan para sufi dapat diambil kesimpulan bahwa pertikaian diantara mereka dikarenakan kaum sufi dituduh sering menggunakan hadits lemah dan bahkan palsu. Hal ini yang menyebabkan kalangan ahli hadits dan fuqaha menganggap kaum sufi sebagai kaum pembual yang menghalalkan segala cara untuk mencari simpati dan membenarkan pengalaman batinnya. Ini dibuktikan oleh saya sendiri ketika menghadiri perkuliahan Dr. Luhfi Fathullah seorang doktor hadits lulusan Syiria. Beliau menyatakan bahwa orang-orang sufi selalu mengatasnamakan Nabi dalam berbagai permasalahan dan persoalan kaum sufi. Mereka menjustifikasi bahwa teori-teori tasawuf berdasarkan hadits-hadist yang disebutkan para sufi yang menurutnya hadits tersebut adalah palsu. Hal ini juga bertujuan untuk mengambil hati orang-orang agar mengikuti jejak para sufi.
Dilain waktu saya juga pernah mendengar perkataan KH. Ali Musthafa Ya’qub, salah satu ketua MUI yang dikatakan sebagai ahli hadits di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Beliau menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfi…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah. Menurutnya bagaimana mungkin dua orang yang berbeda masa dan zaman bertemu secara mubasyarah dan saling bercakap. Jika demikian bisa dilakukan kenapa Rasulullah tidak menemui Sayyidina Ali atau Muawiyah ketika mereka berperang?
Dengan kata lain menurut kalangan ahli hadits hadits yang shahih adalah hadits yang tsiqah rawinya, dan sampai pada peringkat sahabat sehingga sahabat yang mendapatkan hadits tersebut dari rasulullah langsung. Dan mustahil seorang tabi’in-atau tabiuttabi’in mendapatkan hadits langsung dari rasulullah saw.
Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan.
Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfi…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih.
Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.
Solusinya…
Menurut hemat saya ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf. Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
Dari perbedaan sistem yang diterapkan kedua kubu ini saya mengharapkan agar ummat Islam, khususnya and-anda lulusan Buntet dapat bersikap bijaksana ketika menghadapi berbagai kasus fiqh, tasawuf dan mengambilan dalil-dalil hukumnya supaya tidak menjadi orang yang ekslusif. Maka jadilan anda orang Islam yang inklusif!
Semoga bermanfaat. Wallahua’lam. Wassalam!

0 comments:

Salah satu Alasan Mengikuti Gerakan Tarekat para Wali

Posted by Unknown  |  at  12:26 PM

Masjid saksi kita belajarMenuju Allah adalah upaya yang harus terus menerus diupayakan seorang hamba. Banyak cara dan jalan yang ditempuh oleh para ulama terdahulu mengajarkan pada kita. Termasuk di dalamnya adalah gerakan batin (hakekat). Semisal yang dicanangkan oleh Al Hallaj dan diteruskan oleh Syekh Siti Jenar di Indonesia. Di samping itu ada banyak jenis gerakan selain Siti Jenar yang dicanangkan oleh para Wali (songo). Diantaranya adalah thareqat. Pertanyaanya, apakah gerakan tarekat yang dicanangkan para wali itu masuk dalam kategori syareat atau gerakan hakekat?

 

Islam lahir didahului oleh hakekat baru kemudian syareat. Buktinya Nabi saw lama bertahannuts (bermalam) di gua Hira. Beliau menghabiskan malam-malamnya di sana untuk beribadah dengan mengabdikan diri kepada Allah swt. Beberapa malam kemudian, turunlah  wahyu pertama. Di sinilah syareat mulai dibentuk untuk umatnya.

Namun pada giliran periode berikutnya, muncul gerakan yang mirip hakekat yang diajarkan oleh Al Hallaj yang cukup bertentangan dengan syareat pada umumnya. Beratus tahun kemudian hadir pula di Indonesia. Pelopornya adalah Syekh Siti Jenar. Gerakan ini cukup berhasil membawa para pengikutnya untuk terus mengupayakan gerakan ini berkembang. Entah bagaimana, akhirnya syareat yang biasanya dianut oleh masyarakat umum tiba-tiba tidak lagi menjadi fokus utama dalam beribadah kepada Allah. Yang hadir dan ramai di anut oleh masyarakat adalah sejenis hakekat. Di antara yang kerap dibicarakan oleh orang-orang adalah ungkapan “eling”. Atau “manungaling kaula Gusti”. Semacam penyadaran akan penyatuan antara hamba dengan Tuhannya.

Konon ajaran itu masuk dalam kategori hakekat. Adapun syareatnya tidak seperti para penganut Islam biasanya. Atau barangkali tidak ada syareat sama sekali. Seandainya pun ada syareat, maka dipastikan sangat berbeda dengan para pemegang rukun Islam pada umumnya.

Ajaran Syekh Siti Jenar, salah satunya adalah gerakan shalat di atas daun. Generasinya hingga kinipun masih mempraktekkannya. Selembar daun dipotong dan digelar sebagai sajadahnya lalu melaksanakan shalat di atas daun itu di permukaan air. Atau suatu ketika selembar daun pisang menempel di dahannya, maka di situlah mengerjakan shalatnya. Jadi begitulah seorang yang mendalami ilmu syareat Syeh Siti Jenar. Karenanya, tidak mustahil seseorang itu mempelajari bagaimana bisa terbang dan menghilang. Itulah yang diajarkannya. Itulah karomahnya.

Di samping  ajaran tersebut ajaran lainnya seperti shalat, puasa dan lain-lainnya sama dengan kita. Tidak ada yang membedakannya. Hanya saja mungkin dalam hal pemikiran tentang falsafah teologinya. Adapun syareatnya tetap sama. Tetatapi apakah juga mereka yang disebut kelompok "eling" atau Islam abangan masuk dalam kategori pengikut Syekh Siti Jenar, hal ini penulis tidak memahaminya. Barangkali akan ada perdebatan atau pelengkapan dalam artikel ini. Mungkin para syeh-syeh bisa menambahkan atau membantah atau berkeberatan atas artikel ini. 

Bagaimana dengan Gerakan para Wali Lainya?

Menurut Abdullah As Sya’roni bukan itu yang istimewa. Karomah dipandang oleh As Sya’roni adalah al Istiqomah, meskipun kecil kelihatannya. Sehingga timbul ungkapan “khoirun min alfi karomah” istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah. Karenanya, tidak perlu tertarik dan tidak perlu mempelajari hal-hal seperti itu. Inilah yang disebut gerakan tarekat yang dipelopori oleh para aulia. Karenanya pernah ada seorang ulama besar membuat geger orang-orang, dimana shalatnya tidak pernah diketahui. Namun tiba-tiba saja ulama itu ada di sana. Wallahu a’lam kita tidak tahu, namun itulah gerakan mereka. Jadi sangat antik mereka punya gerakan. 

Karena itu wali Songo tidak mau ketinggalan punya gerakan juga. Thareqah namanya. Jadi tarekat yang diajarkan para wali itu sangat jelas dan terlihat apa adanya. Para pengikut tarekat saat berkumpul ramai-ramai kemudian melakukan  dzikir tarekat bersama-sama. Ramai-ramai di talqin atau di baiat oleh musyidnya, oleh muqoddam atau khalefah,  terserah istilahnya apa, itu semata-mata untuk melestarikan gerakan wali songo. 

Itulah alasannya mengapa para pengikut tarekat berkumpul. Sementara para pengikut syekh Siti Jenar pun gigih membikin generasi penerusnya dengan gerakan-gerakan yang dianggap kontroversial. Sementera grupnya Wali Songo ternyata kelihatannya lebih berhasil dalam gerakannya. Sehingga berkembanglah  tarekat di seluruh dunia dengan berbagai versi dan silsilahnya hingga kini. 

Salah satu inti gerakan tarekat yang dikedepankan oleh para Wali Songo adalah hal yang jelas bentuk syareatnya. Buktinya adalah orang-orang tarekat dzikirknya jelas, bagaimana ucapananya, dimana tempat berdzikirnya, apa yang diucapkan, siapa gurunya dan kepada siapa silsilahnya begitu jelas hingga wusul kepada Rasulullah saw. Tanpa ada yang disembunyikan sama sekali. Bahkan mengikuti tarekat itu sendiri adalah pekerjaan biasa-biasa saja. 

Tentang ajaran hakikat pada tarekat yang diajarkan para wali hanya mengajarkan khofi selebihnya dzikir, sholawat dan membaca Al qur’an kepada para pengamal tarekat. Khofi sendiri merupakan hal rahasia yang tidak bisa diajarkan melainkan dengan talqin kepada mursyidnya, muqoddam atau khalifahnya. Namun ajaran “hakekat” yang dikedepankan oleh tarekat tidak untuk menciptakan sebuah kelebhan (karomah). Semata-mata hanya untuk bagaimana mampu berkomunikasi kepada Allah dalam segala tingkat keadaan dan situasi. Jika pun ada kelebihan yang ditimbulkan, hal itu semata-mata karena maziah saja dan tidak ditampakkan. Bahkan jika seorang pengikut tarekat memiliki karomah, ia sendiri menganggapnya sebagai beban yang berat sekali dipikulnya. Pendeknya, menjadi pengamal tarekat adalah individu yang siap menjadi orang yang biasa-biasa saja. Menjadi individu yang selalu siap menerima keadaan apapun dalam situasi apapun dengan terus-menerus meningkatkan komunikasi dengan Allah swt.

Tak Perlu Diadu. Bukan berarti gerakan Wali Songo lebih baik dari gerakan Syekh Siti Jenar atau sebaliknya. Hal itu tidak perlu diadu dan dibuat komparasi (perbandingan). Karena hal ini  tidak perlu diadu antara kelebihan dan kekurangannya. Sebab dalam salah satu ajaran tarekat menyebutkan bahwa tidak perlu mengoreksi ilmu orang lain. Nafsi-nafsi saja. Memperbaiki dan menambah kekurangan diri. 

Akhirnya, seringkali para guru mengajarkan kepada para pengikutnya: marilah bersama-sama untuk saling tertarik guna mendalami ilmu bersama Allah SWT. Ilmu ini berada dalam hati, bukan di dalam pikiran. Sebab ilmu tarekat tidaklah mengajarkan seseorang ahli suatu bidang, melainkan bagaimana memanaj hati. Jika hati tenang maka akan menolong segala urusan keduniaan dan keakhiratan. Bukankah Allah menjanjikan: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.. (Ar Ra’ad: 28)  Wallhu a’lam.

0 comments:

Salah satu Alasan Mengikuti Gerakan Tarekat para Wali

Posted by Unknown  |  at  12:26 PM

Masjid saksi kita belajarMenuju Allah adalah upaya yang harus terus menerus diupayakan seorang hamba. Banyak cara dan jalan yang ditempuh oleh para ulama terdahulu mengajarkan pada kita. Termasuk di dalamnya adalah gerakan batin (hakekat). Semisal yang dicanangkan oleh Al Hallaj dan diteruskan oleh Syekh Siti Jenar di Indonesia. Di samping itu ada banyak jenis gerakan selain Siti Jenar yang dicanangkan oleh para Wali (songo). Diantaranya adalah thareqat. Pertanyaanya, apakah gerakan tarekat yang dicanangkan para wali itu masuk dalam kategori syareat atau gerakan hakekat?

 

Islam lahir didahului oleh hakekat baru kemudian syareat. Buktinya Nabi saw lama bertahannuts (bermalam) di gua Hira. Beliau menghabiskan malam-malamnya di sana untuk beribadah dengan mengabdikan diri kepada Allah swt. Beberapa malam kemudian, turunlah  wahyu pertama. Di sinilah syareat mulai dibentuk untuk umatnya.

Namun pada giliran periode berikutnya, muncul gerakan yang mirip hakekat yang diajarkan oleh Al Hallaj yang cukup bertentangan dengan syareat pada umumnya. Beratus tahun kemudian hadir pula di Indonesia. Pelopornya adalah Syekh Siti Jenar. Gerakan ini cukup berhasil membawa para pengikutnya untuk terus mengupayakan gerakan ini berkembang. Entah bagaimana, akhirnya syareat yang biasanya dianut oleh masyarakat umum tiba-tiba tidak lagi menjadi fokus utama dalam beribadah kepada Allah. Yang hadir dan ramai di anut oleh masyarakat adalah sejenis hakekat. Di antara yang kerap dibicarakan oleh orang-orang adalah ungkapan “eling”. Atau “manungaling kaula Gusti”. Semacam penyadaran akan penyatuan antara hamba dengan Tuhannya.

Konon ajaran itu masuk dalam kategori hakekat. Adapun syareatnya tidak seperti para penganut Islam biasanya. Atau barangkali tidak ada syareat sama sekali. Seandainya pun ada syareat, maka dipastikan sangat berbeda dengan para pemegang rukun Islam pada umumnya.

Ajaran Syekh Siti Jenar, salah satunya adalah gerakan shalat di atas daun. Generasinya hingga kinipun masih mempraktekkannya. Selembar daun dipotong dan digelar sebagai sajadahnya lalu melaksanakan shalat di atas daun itu di permukaan air. Atau suatu ketika selembar daun pisang menempel di dahannya, maka di situlah mengerjakan shalatnya. Jadi begitulah seorang yang mendalami ilmu syareat Syeh Siti Jenar. Karenanya, tidak mustahil seseorang itu mempelajari bagaimana bisa terbang dan menghilang. Itulah yang diajarkannya. Itulah karomahnya.

Di samping  ajaran tersebut ajaran lainnya seperti shalat, puasa dan lain-lainnya sama dengan kita. Tidak ada yang membedakannya. Hanya saja mungkin dalam hal pemikiran tentang falsafah teologinya. Adapun syareatnya tetap sama. Tetatapi apakah juga mereka yang disebut kelompok "eling" atau Islam abangan masuk dalam kategori pengikut Syekh Siti Jenar, hal ini penulis tidak memahaminya. Barangkali akan ada perdebatan atau pelengkapan dalam artikel ini. Mungkin para syeh-syeh bisa menambahkan atau membantah atau berkeberatan atas artikel ini. 

Bagaimana dengan Gerakan para Wali Lainya?

Menurut Abdullah As Sya’roni bukan itu yang istimewa. Karomah dipandang oleh As Sya’roni adalah al Istiqomah, meskipun kecil kelihatannya. Sehingga timbul ungkapan “khoirun min alfi karomah” istiqomah itu lebih baik daripada seribu karomah. Karenanya, tidak perlu tertarik dan tidak perlu mempelajari hal-hal seperti itu. Inilah yang disebut gerakan tarekat yang dipelopori oleh para aulia. Karenanya pernah ada seorang ulama besar membuat geger orang-orang, dimana shalatnya tidak pernah diketahui. Namun tiba-tiba saja ulama itu ada di sana. Wallahu a’lam kita tidak tahu, namun itulah gerakan mereka. Jadi sangat antik mereka punya gerakan. 

Karena itu wali Songo tidak mau ketinggalan punya gerakan juga. Thareqah namanya. Jadi tarekat yang diajarkan para wali itu sangat jelas dan terlihat apa adanya. Para pengikut tarekat saat berkumpul ramai-ramai kemudian melakukan  dzikir tarekat bersama-sama. Ramai-ramai di talqin atau di baiat oleh musyidnya, oleh muqoddam atau khalefah,  terserah istilahnya apa, itu semata-mata untuk melestarikan gerakan wali songo. 

Itulah alasannya mengapa para pengikut tarekat berkumpul. Sementara para pengikut syekh Siti Jenar pun gigih membikin generasi penerusnya dengan gerakan-gerakan yang dianggap kontroversial. Sementera grupnya Wali Songo ternyata kelihatannya lebih berhasil dalam gerakannya. Sehingga berkembanglah  tarekat di seluruh dunia dengan berbagai versi dan silsilahnya hingga kini. 

Salah satu inti gerakan tarekat yang dikedepankan oleh para Wali Songo adalah hal yang jelas bentuk syareatnya. Buktinya adalah orang-orang tarekat dzikirknya jelas, bagaimana ucapananya, dimana tempat berdzikirnya, apa yang diucapkan, siapa gurunya dan kepada siapa silsilahnya begitu jelas hingga wusul kepada Rasulullah saw. Tanpa ada yang disembunyikan sama sekali. Bahkan mengikuti tarekat itu sendiri adalah pekerjaan biasa-biasa saja. 

Tentang ajaran hakikat pada tarekat yang diajarkan para wali hanya mengajarkan khofi selebihnya dzikir, sholawat dan membaca Al qur’an kepada para pengamal tarekat. Khofi sendiri merupakan hal rahasia yang tidak bisa diajarkan melainkan dengan talqin kepada mursyidnya, muqoddam atau khalifahnya. Namun ajaran “hakekat” yang dikedepankan oleh tarekat tidak untuk menciptakan sebuah kelebhan (karomah). Semata-mata hanya untuk bagaimana mampu berkomunikasi kepada Allah dalam segala tingkat keadaan dan situasi. Jika pun ada kelebihan yang ditimbulkan, hal itu semata-mata karena maziah saja dan tidak ditampakkan. Bahkan jika seorang pengikut tarekat memiliki karomah, ia sendiri menganggapnya sebagai beban yang berat sekali dipikulnya. Pendeknya, menjadi pengamal tarekat adalah individu yang siap menjadi orang yang biasa-biasa saja. Menjadi individu yang selalu siap menerima keadaan apapun dalam situasi apapun dengan terus-menerus meningkatkan komunikasi dengan Allah swt.

Tak Perlu Diadu. Bukan berarti gerakan Wali Songo lebih baik dari gerakan Syekh Siti Jenar atau sebaliknya. Hal itu tidak perlu diadu dan dibuat komparasi (perbandingan). Karena hal ini  tidak perlu diadu antara kelebihan dan kekurangannya. Sebab dalam salah satu ajaran tarekat menyebutkan bahwa tidak perlu mengoreksi ilmu orang lain. Nafsi-nafsi saja. Memperbaiki dan menambah kekurangan diri. 

Akhirnya, seringkali para guru mengajarkan kepada para pengikutnya: marilah bersama-sama untuk saling tertarik guna mendalami ilmu bersama Allah SWT. Ilmu ini berada dalam hati, bukan di dalam pikiran. Sebab ilmu tarekat tidaklah mengajarkan seseorang ahli suatu bidang, melainkan bagaimana memanaj hati. Jika hati tenang maka akan menolong segala urusan keduniaan dan keakhiratan. Bukankah Allah menjanjikan: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.. (Ar Ra’ad: 28)  Wallhu a’lam.

0 comments:

Bercak-bercak Sufi

Posted by Unknown  |  at  3:47 AM


Oleh Ahmad Fardan

Lama sudah saya mengamati dan merenungkan pikiran-pikiran kaum sufi. Ternyata ajaran yang diketengahkan sangat membahayakan kaum muslimin. Ajaran tasawuflah yang telah merubah kondisi mereka yang penuh kemuliaan menjadi hina dina. Perilaku kaum sufi dari masa ke masa senantiasa menghancurkan sendi-sendi dasar ajaran islam. Sehingga ibarat pohon kini telah roboh lumat. Karena itu bagi kaum muslimin tidak akan dapat meraih kembali kejayaan manakala sejak dini tidak berani mengatasi bahaya yang ditimbulkan kaum sufi sebelum menangkis bahaya-bahaya lainnya.




Dengan memuji Allah. Saya akan mencoba mengetengahkan pembahasan seputar pemikiran kaum sufi dalam sebuah tulisan pendek pertimbangan saya apabila ditampilkan dalam sebuah tulisan panjang akan terlalu lama mendalaminya. Sehingga untuk menangkal bahaya ajaran kaum sufi pun tertunda. Padahal kebutuhan sudah sangat mendesak. Tulisan –tulisan saya ini saya harapkan dapat membangkitkan dan memotivasi ummat Islam untuk bangkit menangkal bahaya yang lembut lagi rahasia, berada di balik topeng kedok ibadah. Berperilaku dan beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan ummat islam.



Memalingkan Manusia dari Al-Qur’an dan Hadits.


Kaum sufi sejak dahulu hingga kini sengaja memalingkan manusia dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits.dengan cara bermacam-macam.




Pertama, asumsi bahwa mengkaji kandungan Al-Qur’an secara detail hanya akan menyianyiakan waktu, melalaikan dari berdzikir kepada Allah. Menyatu dalam kefanaan terhadap Allah bagi mereka merupakan tingkat kesufian yang paling tinggi. Sedangkan arti memikirkan kandungan Al-Qur’an adalah berdzikir kepada-Nya. Sebab Al-qur’an banyak mengetengahkan pujian terhadap Allah dengan sifat dan asma-Nya.




Tetapi orang-orang tasawuf menghendaki dirinya dapat mengambil alih kekuasaan Tuhan, yakni dengan memiliki sifat-sifat-Nya. Karena itu mereka tidak mau lagi, setidaknya ogah memikirkan kandungan Al-Qur’an secara rinci dan detail. Diantara mereka adalah Asy-Sya’rani, didalam kitabnya yang berjudul Al-Kibriyatul-Ahmar mengatakan :…..bersambung



0 comments:

Bercak-bercak Sufi

Posted by Unknown  |  at  3:47 AM


Oleh Ahmad Fardan

Lama sudah saya mengamati dan merenungkan pikiran-pikiran kaum sufi. Ternyata ajaran yang diketengahkan sangat membahayakan kaum muslimin. Ajaran tasawuflah yang telah merubah kondisi mereka yang penuh kemuliaan menjadi hina dina. Perilaku kaum sufi dari masa ke masa senantiasa menghancurkan sendi-sendi dasar ajaran islam. Sehingga ibarat pohon kini telah roboh lumat. Karena itu bagi kaum muslimin tidak akan dapat meraih kembali kejayaan manakala sejak dini tidak berani mengatasi bahaya yang ditimbulkan kaum sufi sebelum menangkis bahaya-bahaya lainnya.




Dengan memuji Allah. Saya akan mencoba mengetengahkan pembahasan seputar pemikiran kaum sufi dalam sebuah tulisan pendek pertimbangan saya apabila ditampilkan dalam sebuah tulisan panjang akan terlalu lama mendalaminya. Sehingga untuk menangkal bahaya ajaran kaum sufi pun tertunda. Padahal kebutuhan sudah sangat mendesak. Tulisan –tulisan saya ini saya harapkan dapat membangkitkan dan memotivasi ummat Islam untuk bangkit menangkal bahaya yang lembut lagi rahasia, berada di balik topeng kedok ibadah. Berperilaku dan beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan ummat islam.



Memalingkan Manusia dari Al-Qur’an dan Hadits.


Kaum sufi sejak dahulu hingga kini sengaja memalingkan manusia dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits.dengan cara bermacam-macam.




Pertama, asumsi bahwa mengkaji kandungan Al-Qur’an secara detail hanya akan menyianyiakan waktu, melalaikan dari berdzikir kepada Allah. Menyatu dalam kefanaan terhadap Allah bagi mereka merupakan tingkat kesufian yang paling tinggi. Sedangkan arti memikirkan kandungan Al-Qur’an adalah berdzikir kepada-Nya. Sebab Al-qur’an banyak mengetengahkan pujian terhadap Allah dengan sifat dan asma-Nya.




Tetapi orang-orang tasawuf menghendaki dirinya dapat mengambil alih kekuasaan Tuhan, yakni dengan memiliki sifat-sifat-Nya. Karena itu mereka tidak mau lagi, setidaknya ogah memikirkan kandungan Al-Qur’an secara rinci dan detail. Diantara mereka adalah Asy-Sya’rani, didalam kitabnya yang berjudul Al-Kibriyatul-Ahmar mengatakan :…..bersambung



0 comments:

Copyright © 2013 Blog Backup Buntet Pesantren. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top