Sejarah Wahabi (Bagian 1)

Posted by Unknown  |  at  10:49 AM

sejarah Oleh: M. Zaim Nugroho


MENULIS sejarah Wahabi tidak terlepas dari negara asalanya aliran ini berasal,
yaitu Arab Saudi. Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di mana para
ulama masih mendominasi peran perubahan masyarakat. Di negeri ini,
nasionalisme, Pan-Arabisme, Pan-Islamisme, sosialisme Islam, yang
memainkan peran di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak punya gaung.
Satu-satunya doktrin yang ditoleransi adalah paham Wahhabiyah. Dengan
itu, Arab Saudi menjadi sebuah kerajaan yang totalitarian, tak kenal
kompromi.



Tidak mengherankan jika kerajaan Saudi memandang
nasionalisme Nasser di Mesir sebagai ancaman langsung terhadap
keberadaannya. Untuk menahan pengaruh Nasser yang makin menguat,
kerajaan Saudi mengulurkan tangannya kepada para aktivis Ikhwanul
Muslimin – tidak saja mereka yang terusir dari Mesir, tetapi juga dari
negara-negara Arab sekular lainnya seperti Syria dan Irak.

Nama
“Wahabisme” dan “Wahabi” berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab
(1703-1792). Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan
tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi
sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid sebagai
nama kelompok mereka. Menurut Algar, penggunaan nama-nama ini
mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip
tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.

Pada saat yang sama,
mereka membedakan diri dari seluruh umat Islam yang lain, yang mereka
cap telah melakukan syirik. Akan tetapi, tidak ada alasan menerima
monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi
pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b.
‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka
“Wahabisme” dan “kaum Wahabi” (Algar, 2003: 1-2).

Dalam sejarah
pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahabisme
tidak menempati tempat yang begitu penting. Secara intelektual gerakan
ini adalah marjinal, tetapi bernasib baik karena muncul di Semenanjung
Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena
itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung
dunia Muslim.

Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan
Wahabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh
kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya digunakan
menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut,
Wahabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan
sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama
pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan
kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah
menyebabkan Wahabisme dapat bertahan lama. (Algar, 2003: 2)

Sebagai
aliran pemikiran atau sekte tersendiri, Wahabi dicirikan, khususnya
oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas
mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni
yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “keras” atau “ketat”
ditambahkan di belakangnya, untuk memberikan gambaran yang lebih pasti.
Namun, kalangan Sunni mengamati bahwa kaum Wahabi, sejak pertama kali
aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari
Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Hal itu karena hampir semua praktik,
tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab
sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan
dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum
Muslim.

Karena alasan ini, banyak ulama yang hidup pada masa ketika
Wahabisme pertama kali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai
bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Bahwa sekarang Wahabisme
dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah
“Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa longgar. (Algar, 2003:
2-3)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab
pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahabisme senantiasa diklaim
mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah. Klaim
ini sulit dipertahankan. Apapun pendapat orang tentang posisi atau
sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh
lebih canggih dan produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd
al-Wahhab. Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini
adalah: kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme
pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, ia tidak menolak
Sufisme secara keseluruhan. Ia sendiri adalah pelopor tarikat
Qadiriyyah. Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf
secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya manifestasi
tertentu tasawuf. (Algar, 9-10)


Ekspansi Wahabi

Wahhabisme atau
Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792),
pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada
akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi. Ia
dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini
sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia. Ia memperoleh pendidikan
agama, dan pernah belajar di Madinah. Ia kemudian berkelana ke
mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak,
Kurdistan, dan Persia. Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan
bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali
kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan
hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

Pada
sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn
al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud. Pada masa
itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang
sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang. Wahhab lalu
menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn
Sa`ud, pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya
akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas
pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai
konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.
Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah. Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad
ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini
milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah,
bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami
tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.” Muhammad ibn `Abd al-Wahhab
menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda
adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda
kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap
orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin
masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah
keagamaan. (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

Dengan
terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah
menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia
Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun
dimulai. Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd
al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Banyak
deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal
menekankan fakta bahwa raid sejalan dengan praktik-praktik kesukuan
yang dominan kala itu. Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini
menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi
daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal. Selain
keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja
di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak. Menurut sejarawan Madawi
al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni
pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya
didominasi fiqh.

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka
dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam
sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu,
mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk
menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran
kaum Muslim. Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di
sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi
Islam mereka.

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak
Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan
Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah berhasil menduduki
wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan
menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut
Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk
menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh. Lalu, ekspansi
dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan
Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka
semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

Ekspansi awal
Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz,
di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi
ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif
Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani.
Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi
Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802,
Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu,
para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di
makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

Kemenangan
di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke
wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk
Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya
pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang
kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil
ditundukkan sepenuhnya.

Ekspansi lain mencapai ladang subur
Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan
Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok
Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang
sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka
menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya
kepada makam puteri Nabi, Fatimah.

Pada tahun 1803-1804, pasukan
Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan
orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan
yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran
dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar
Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan
dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam
guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah
dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk
peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen,
2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd
al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806.
Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya
adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka
membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia
digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814,
yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

Reaksi Konstantinopel
Dominasi
Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas
Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah
dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil
Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan
tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul
haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan
Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815,
kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali
ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang
penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri
dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam
keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh.
Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida
kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang
dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa
bulan dikepung, mereka menyerah.

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua
ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan
menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia
memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa
ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia
memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid
Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan
berdarah teologi Wahabi.’

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta
beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian
ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan,
diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari.
Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada
kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan
di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri
Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin
yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab
Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua
orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah
adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233
Hijriah (1818) melalui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).

Demikianlah,
fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara
Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang
mereka lakukan sejak aliansi terbentuk. (Bersambung)

Zaim Nugroho, keluarga dari Buntet Pesantren, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Kini aktif di salah satu Lembaga Penelitian Pemilu.


0 comments:

Sejarah Wahabi (Bagian 1)

Posted by Unknown  |  at  10:49 AM

sejarah Oleh: M. Zaim Nugroho


MENULIS sejarah Wahabi tidak terlepas dari negara asalanya aliran ini berasal,
yaitu Arab Saudi. Arab Saudi adalah satu-satunya negeri di mana para
ulama masih mendominasi peran perubahan masyarakat. Di negeri ini,
nasionalisme, Pan-Arabisme, Pan-Islamisme, sosialisme Islam, yang
memainkan peran di negeri-negeri Muslim lainnya, tidak punya gaung.
Satu-satunya doktrin yang ditoleransi adalah paham Wahhabiyah. Dengan
itu, Arab Saudi menjadi sebuah kerajaan yang totalitarian, tak kenal
kompromi.



Tidak mengherankan jika kerajaan Saudi memandang
nasionalisme Nasser di Mesir sebagai ancaman langsung terhadap
keberadaannya. Untuk menahan pengaruh Nasser yang makin menguat,
kerajaan Saudi mengulurkan tangannya kepada para aktivis Ikhwanul
Muslimin – tidak saja mereka yang terusir dari Mesir, tetapi juga dari
negara-negara Arab sekular lainnya seperti Syria dan Irak.

Nama
“Wahabisme” dan “Wahabi” berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab
(1703-1792). Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan
tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi
sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid sebagai
nama kelompok mereka. Menurut Algar, penggunaan nama-nama ini
mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip
tawhid, yang merupakan landasan Islam itu sendiri.

Pada saat yang sama,
mereka membedakan diri dari seluruh umat Islam yang lain, yang mereka
cap telah melakukan syirik. Akan tetapi, tidak ada alasan menerima
monopoli atas prinsip tawhid tersebtu, dan karena gerakan yang menjadi
pokok pembahasan ini merupakan karya seorang manusia, yakni Muhammad b.
‘Abd al-Wahhab, maka cukup beralasan dan lazim untuk menyebut mereka
“Wahabisme” dan “kaum Wahabi” (Algar, 2003: 1-2).

Dalam sejarah
pemikiran Islam yang telah berlangsung lama dan sangat kaya, Wahabisme
tidak menempati tempat yang begitu penting. Secara intelektual gerakan
ini adalah marjinal, tetapi bernasib baik karena muncul di Semenanjung
Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena
itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung
dunia Muslim.

Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan
Wahabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh
kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya digunakan
menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut,
Wahabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan
sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama
pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan
kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah
menyebabkan Wahabisme dapat bertahan lama. (Algar, 2003: 2)

Sebagai
aliran pemikiran atau sekte tersendiri, Wahabi dicirikan, khususnya
oleh para pengamat non-Muslim yang mencari deskripsi ringkas
mengenainya, sebagai kaum Sunni yang “ekstrem” atau sebagai kaum Sunni
yang “konservatif,” dengan kata-kata sifat seperti “keras” atau “ketat”
ditambahkan di belakangnya, untuk memberikan gambaran yang lebih pasti.
Namun, kalangan Sunni mengamati bahwa kaum Wahabi, sejak pertama kali
aliran mereka dikumandangkan, tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari
Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Hal itu karena hampir semua praktik,
tradisi dan keyakinan yang dikecam oleh Muhammad b. `Abd al-Wahhab
sudah lama diakui sebagai bagian integral dari Islam Sunni, diuraikan
dalam banyak sekali literatur dan diterima oleh sebagian besar kaum
Muslim.

Karena alasan ini, banyak ulama yang hidup pada masa ketika
Wahabisme pertama kali dikampanyekan mengecam pendukungnya sebagai
bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Bahwa sekarang Wahabisme
dipandang sebagai bagian dari Sunni, hal itu menunjukkan bahwa istilah
“Sunni” mulai memperoleh makna yang luar biasa longgar. (Algar, 2003:
2-3)

Karena ketertarikan yang ditunjukkan Muhamad b. ‘Abd al-Wahhab
pada karya-karya Ibn Taymiyah, Wahabisme senantiasa diklaim
mencerminkan kemunculan yang tertunda dari warisan Ibn Taymiyah. Klaim
ini sulit dipertahankan. Apapun pendapat orang tentang posisi atau
sikap Ibn Taymiyah, tidak diragukan bahwa ia adalah pemikir yang jauh
lebih canggih dan produktif dibandingkan dengan Muhammad b. ‘Abd
al-Wahhab. Lebih dari itu, perbedaan kunci antara kedua orang ini
adalah: kendati Ibn Taymiyah menentang aspek-aspek tertentu Sufisme
pada zamannya yang ia pandang keliru atau menyimpang, ia tidak menolak
Sufisme secara keseluruhan. Ia sendiri adalah pelopor tarikat
Qadiriyyah. Sebaliknya, Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab menolak tasawuf
secara lebih luas, akar maupun cabangnya, bukan hanya manifestasi
tertentu tasawuf. (Algar, 9-10)


Ekspansi Wahabi

Wahhabisme atau
Wahhabiyah diambil dari Syeikh Muhammad ibn `Abd al-Wahhab (1703-1792),
pendiri gerakan puritanisme keagamaan di Semenanjung Arabia yang pada
akhirnya berujung pada pembentukan negara Islam Arab Saudi. Ia
dilahirkan pada tahun 1703 di Uyaina, sebuah kota yang sekarang ini
sudah tidak ada lagi, di wilayah Najd, Arabia. Ia memperoleh pendidikan
agama, dan pernah belajar di Madinah. Ia kemudian berkelana ke
mana-mana, berkunjung dan belajar ke tempat-tempat seperti Syria, Irak,
Kurdistan, dan Persia. Ketika kembali ke Arabia, ia mulai mengajarkan
bentuk Islam yang puritan, yang menyerukan kaum Muslim untuk kembali
kepada dasar-dasar Islam seperti yang dikemukakan dalam al-Qur’an dan
hadis, tentunya sebagaimana yang ia sendiri pahami dan tafsirkan.

Pada
sekitar tahun 1777, ia tinggal di Dariyah, Arabia, dan di sana ibn
al-Wahhab menjadi “pemimpin spiritual” keluarga besar Sa`ud. Pada masa
itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang
sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang. Wahhab lalu
menandatangani semacam “perjanjian kerja sama” dengan Muhammad ibn
Sa`ud, pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya
akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas
pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai
konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu.
Tentang pertemuan keduanya di Oasis Dir`iyyah. Menurut Abu Hakimah, salah satu penulis sejarah ibn al-Wahhab:

Muhammad
ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn al-Wahhab dan berkata, “Oasis ini
milikmu, dan jangan takut kepada musuh-musuhmu. Dengan nama Allah,
bahkan jika semua [orang] Najd dipanggil untuk menyingkirkan kamu, kami
tidak akan pernah setuju untuk mengusirmu.” Muhammad ibn `Abd al-Wahhab
menjawab, “Anda adalah pemimpin mereka yang menetap di sini dan Anda
adalah seorang yang bijak. Saya ingin Anda menyatakan sumpah Anda
kepada saya bahwa Anda akan melaksanakan jihad (perang suci) terhadap
orang-orang kafir. Sebagai imbalannya, Anda akan menjadi imam, pemimpin
masyarakat Muslim, dan saya akan menjadi pemimpin dalam masalah-masalah
keagamaan. (dikutip dalam al-Rasheed, 2002: 17).

Dengan
terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah
menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia
Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun
dimulai. Sebagai imam kembar gerakan Wahhabiyah, Ibn Sa`ud dan `Abd
al-Wahhab menjadi pemimpin spiritual dan temporal wilayah itu.
Banyak
deskripsi mengenai keberhasilan ekspansi Wahhabi-Saudi yang awal
menekankan fakta bahwa raid sejalan dengan praktik-praktik kesukuan
yang dominan kala itu. Sekalipun mengandung kebenaran, hal ini
menyepelekan pentingnya dimensi spiritual koalisi itu, yang menjadi
daya tarik sedikitnya bagi sebagian pengikut Wahhabi yang awal. Selain
keuntungan material, Wahhabisme juga menawarkan penyelamatan bukan saja
di dunia ini, melainkan juga di akhirat kelak. Menurut sejarawan Madawi
al-Rasheed (2002: 20), al-Wahhab membawa sesuatu yang baru, yakni
pentingnya tawhid, ke dalam tradisi keislaman Najd yang sebelumnya
didominasi fiqh.

Mereka dengan sengaja mengaitkan gerakan mereka
dengan kaum Khawarij, kelompok puritan dan ekstremis pertama dalam
sejarah Islam, dan seperti kelompok pendahulunya yang fanatik itu,
mereka memfokuskan kemarahan mereka pertama-tama ke dalam, untuk
menghancurkan apa yang mereka pandang sebagai sebab-sebab kemunduran
kaum Muslim. Karena itu, mereka mulai memerangi suku-suku yang ada di
sekeliling mereka dan memaksa suku-suku tersebut untuk mengikuti versi
Islam mereka.

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak
Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan
Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah berhasil menduduki
wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan
menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut
Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk
menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh. Lalu, ekspansi
dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan
Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka
semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

Ekspansi awal
Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz,
di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi
ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif
Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani.
Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi
Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802,
Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu,
para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di
makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

Kemenangan
di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke
wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk
Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya
pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang
kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil
ditundukkan sepenuhnya.

Ekspansi lain mencapai ladang subur
Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan
Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok
Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang
sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka
menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya
kepada makam puteri Nabi, Fatimah.

Pada tahun 1803-1804, pasukan
Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan
orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan
yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran
dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar
Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan
dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam
guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah
dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk
peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen,
2006: 64).

Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd
al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806.
Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya
adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka
membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia
digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814,
yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.

Reaksi Konstantinopel
Dominasi
Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas
Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah
dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil
Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan
tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul
haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan
Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815,
kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali
ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.

Ibrahim Pasya, putra sang
penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri
dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam
keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh.
Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida
kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang
dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa
bulan dikepung, mereka menyerah.

Ibrahim Pasya mengumpulkan semua
ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan
menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia
memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa
ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia
memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid
Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan
berdarah teologi Wahabi.’

Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta
beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian
ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan,
diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari.
Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada
kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan
di Kairo.

Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri
Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin
yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab
Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua
orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah
adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233
Hijriah (1818) melalui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).

Demikianlah,
fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara
Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang
mereka lakukan sejak aliansi terbentuk. (Bersambung)

Zaim Nugroho, keluarga dari Buntet Pesantren, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Kini aktif di salah satu Lembaga Penelitian Pemilu.


0 comments:

Sekilas tentang Moralitas dalam Pandangan Umum

Posted by Unknown  |  at  10:27 AM





filsafatOleh : Nuning Mumarisal Haq



Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup.
Kata Socrates, seperti dilaporkan Plato dalam
Republic (sekitar 390 S.M).  Ungkapan  ini menarik untuk dibahas terkait dengan pandangan terhadap filsafat moral secara umum.  Artinya, bagaimana orang umum (bukan agamawan) memandang moralitas. 



 



1. Persolan definisi



Filsafat moral adalah upaya untuk
mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut
dari kita --- meminjam kata kata Socrates, tentang "bagaimana
seharusnya kita hidup"
dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna
jikalau kita dapat memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak
kontroversial mengenai moralitas.Tetapi ternyata tidak mungkin demikian sebab
akan muncul definisi pesaing, dimana masing masing mengutarakan konsep yang
berbeda mengenai apa artinya hidup secara moral itu. Parahnya, definisi
yang melampaui rumusan Socrates yang sederhana itu akan saling menyerang satu
sama lain.



 



Hal ini membuat kita harus berhati-hati, namun
tidak perlu sampai melumpuhkan kita.saya akan coba mengutarakan apa yang  saya sebut dengan istilah "konsepsi
minimum"dari moralitas.sebagaimana tampak dari rumusan ini konsepsi
minimum merupakan pokok yang bisa diterima oleh setiap teori moral, paling
tidak sebagai titik tolak.kita akan mulai dengan secara agak mendetail sebuah
kontroversi moral.Sosok dari konsepsi minimum ini akan muncul dari pertimbangan
kita mengenai satu buah contoh di bawah ini



 



Contoh kasus Bayi
Theresa



Theresa Ann Campo Pearson, seorang anak penderita
rumpang (anencephaly) yang dikenal publik sebagai "bayi Theresa",
lahir di florida tahun 1992.Rumpang otak merupakan cacat bawaan yang paling
buruk.Bayi penderita rumpang otak kadang dianggap sebagai "bayi tanpa
otak" dan hal ini memberi gambaran yang kurang lebih benar, tetapi tidak
tepat.Bagian penting dari otak --- cerebrum dan cerebellum --- hilang, juga
bagian atas dari tengkorak.Namun batang otak tetap ada dan fungsi fungsi
otonomik seperti pernapasan dan detak jantung tetap berjalan.



 



Kisah mengenai Theresa tidak akan dikenal kalau
orang tuanya tidak mengajukan permintaan yang tidak lazim. Ketika tahu anak
mereka tidak akan hidup lama dan kalaupun dapat hidup, dia tidak akan mempunyai
kesadaran orang tua bayi Theresa kemudian merelakan organ anaknya untuk
transplantasi. Mereka berpikir ginjal, hati, jantung, paru paru dan mata Theresa
dapat disumbangkan untuk anak anak lain, yang dapat memanfaatkannya.



 



Kemudian para
dokter sepaham, hal ini sebagai sesuatu yang baik. Paling sedikit 2000 anak
memerlukan transplantasi setiap tahunnya dan organ yang bisa digunakan tidak
pernah cukup. Meskipun demikian, organ-organ ini tidak juga diambil karena
hukum di Florida tidak memperbolehkan pengambilan organ-organ kalau si pemberi
belum meninggal. Ketika bayi Theresa meninggal, 9 hari kemudian saat itu sudah
terlambat bagi anak anak lain.  Organ-organ
itu tidak dapat ditransplantasikan lagi karena sudah rusak.



 


Diskusi
Publik



Kisah mengenai bayi Theresa disurat kabar
menimbulkan banyak diskusi publik: Apakah bisa dibenarkan organ-organ seorang
anak, yang mengakibatkan kematiannya, demi menolong anak anak lain? Sejumlah
"etikus" profesional, yang bekerja di unversitas, rumah sakit dan
sekolah sekolah hukum, yang tugasnya memikirkan soal-soal seperti ini diundang
oleh surat kabar untuk memberi komentar. Mengherankan, tenyata hanya sedikit
dari antara mereka yang setuju dengan dokter dan orang tua anak itu. Mereka
setia pada prinsip filosofis yang menghormati waktu tepat dalam pengambilan
organ tersebut."



 



Tampaknya sangat mengerikan, untuk menggunakan
orang sebagai sarana bagi tujuan orang lain," katakanlah seorang dari ahli
itu dan yang lain menerangkan, "tidaklah etis membunuh dengan alasan untuk
menyelamatkan. Tidak etis pribadi A untuk menyelamatkan pribadi B." dan
yang ketiga menambahkan: "yang sesungguhnya diminta oleh orang tua anak
itu : bunuhlah bayi yang sedang sekarat ini supaya organ-organnya dapat
digunakan untuk orang lain. Waaah, permintaan semacam ini memang
mengerikan."



 



Apakah memang mengerikan? pendapat orang terbelah
dua. Para etikus ini berpikir begitu, sementara orang tua dan dokter dokter
tidak demikian. Akan tetapi, kita tarik lebih dari sekedar apa yang dipikirkan
orang orang. Kita ingin tahu kebenaran masalah ini apakah orang tua ini benar
atau keliru jikalau merelakan organ-organ bayinya untuk transplantasi? Jikalau
kita ingin tahu kebenaran, kita harus memiliki alasan atau argumentasi manakah
yang diberikan dari kedua pihak itu? Apakah yang dapat dikatakan untuk
membenarkan permintaan orang tua itu, atau untuk menyatakan bahwa permintaan
semacam itu keliru.



 


Argumentasi Keuntungan



Usulan orang tua Theresa didasarkan pada gagasan
bahwa karena Theresa segera akan meninggal, organ-organ tubuhnya tidak berguna
bagi tubuhnya. Namun anak-anak lain dapat memanfaatkan organ-organ itu. Maka
alasan mereka itu tampaknya: Kalau kita dapat mencari keuntungan dari
seseorang, tanpa merugikan yang lain, kita harus melakukannya. Transplantasi
organ-organ ini akan menguntungkan anak anak lain dan tidak merugikan bayi
Theresa. Maka kita harus melakukan transplantasi organ-organ itu.



 



Apakah ini benar? Tidak setiap argumen bisa
dibenarkan;
dan selain mengetahui argumen mana yang dapat
diberikan untuk suatu pandangan, kita juga ingin tahu, apakah argumen argumen
itu baik. Pada umumnya argumen dianggap baik jikalau pengandaian-pengandaiannya
benar dan kesimpulanya muncul secara logis dari pengandaian itu. Dalam hal ini,
kita boleh mempertanyakan mengenai pernyataan bahwa Theresa tidak dirugikan.



 



Memang, dia akan meninggal namun bukankah hal suatu
keburukan? Tetapi dengan merenungkannya tampaknya jelas, dalam lingkungan yang
tragis ini, orang tuanya benar --- kehidupan buka membuatnya menjadi baik.
Hidupnya hanya menguntungkan jikalau membuatnya mampu menjalankan dan mempunyai
pikiran, perasaan, dan relasi relasi dengan orang lain --- dengan kata lain,
jikalau hal itu membuatnya memiliki kehidupan. Tanpa adanya kemungkinan untuk
hal hal demikian itu, keberadaan yang 
semata-mata biologis tidak ada artinya. Oleh karenanya meskipun Theresa
dapat bertahan hidup untuk beberapa hari lagi, hal itu tidak membuatnya lebih
baik. (kita dapat membayangkan lingkungan di mana orang lain akan memperoleh
sesuatu dengan menjaga kehidupannya, tetapi hal itu tidak sama dengan demi
keuntungan Theresa).



 



Pada argumentasi keuntungan mengarah kepada
tindakan memberikan alasan yang kuat untuk melakukan transplantasi organ.



 



Bagaimanakah argumen dari sisi yang lain?



Argumentasi bahwa kita tidak boleh memperlakukan
orang lain sebagai sarana.







Para etikus yang melawan transplantasi mengajukan
dua argumen. Pertama berdasarkan gagasan bahwa kelirulah memperlakukan
orang sebagai sarana untuk tujuan orang lain. Mengambil organ-organ Theresa
berarti mempergunakan dia untuk keuntungan anak anak lain; oleh karenanya hal
itu tidak boleh dilakukan.



 



Apakah argumen ini benar? gagasan bahwa kita tidak
boleh "menggunakan" orang memang menarik, tetapi perlu dipertajam
karena agak kabur maksudnya. Apa arti persisnya?



 



"Mempergunakan orang" merupakan
pelanggaran otonomi --- kemampuan mereka untuk memberi putusan untuk dirinya
sendiri, bagaimana harus menghayati hidupnya sendiri, menuruti hasrat dan
nilai-nilai mereka sendiri. Otonomi seseorang bisa dilanggar melalui
manipulasi, kelicikan, dan penipuan. Misalnya, saya berpura-pura menjadi teman
anda hanya karena saya tertarik bertemu dengan saudara anda. Atau saya mungkin
menipu anda untuk memperoleh pinjaman. Atau saya berusaha meyakinkan anda akan
senang menghadiri konser di kota lain hanya karena saya mau anda membawa serta
saya.



 



Dalam setiap kasus di atas, saya menipu anda untuk
memperoleh sesuatu bagi diri saya. Otonomi juga dilanggar ketika orang dipaksa
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Hal ini menjelaskan
mengapa "menggunakan orang" "itu keliru. Hal itu juga menjadi
keliru karena adanya penipuan, kelicikan, atau pemaksaan.



 



Sedangkan mengambil organ-organ dari tubuh Theresa
tidaklah berkait dengan penipuan, kelicikan atau pemaksaan. Apakah ada arti
lain dari konsep moral selain "menggunakan dia?" tentu saja kita
menggunakan organ-organ itu untuk keuntungan seeorang yang lain. Hal semacam
ini kita lakukan dalam setiap transplantasi. Namun dalam hal ini, kita
melakukan hal itu tanpa seizinnya. Apakah hal ini keliru? jika kita melakukan
hal itu dengan berlawanan dengan kehendaknya, hal itu bisa jadi alasan keberatannya.
Karena hal itu merupakan pelanggaran otonominya. Tetapi bayi Theresa bukan lah
makhluk otonom; dia tidak mempunyai keinginan dan tidak bisa mengambil
keputusan untuk dirinya. Karena dia menderita rumpang otak.



 



Jika orang tidak mampu mengambil keputusan untuk
diri mereka sendiri dan yang lain harus melakukan hal itu untuknya. Ada dua
petunjuk yang masuk akal yang bisa diikuti. Pertama, kita bisa bertanya
apakah kiranya yang bisa menjadi kepentingannya yang paling baik? Jika kita
terapkan standar ini bagi bayi Theresa, tampaknya tak akan ada keberatan untuk
mengambil organ-organnya, karena sebagaimana telah kita lihat,
kepentingan-kepentingannya tidak akan dipengaruhi dengan cara apapun.Bagaimana
pun juga, dia akan segera meninggal.



 



Petunjuk kedua menarik bagi kesenangan pribadi
orang yang bersangkutan;
Kita bisa bertanya, jika dia
dapat mengatakan kepada kita apa yag ia inginkan, apa kiranya yang akan di
katakannya? pemikiran semacam ini sering berguna ketika kita bermasalah dengan
orang yang kita tau, dia mempunyai kesenangan, namun tidak mampu
mengungkapkannya (misalnya, seorang yang mengalami koma yang memberi
tanda-tanda kemauan untuk hidup).Tetapi sayang, bayi Theresa tidak mempunyai
kesukaan apapun dan tidak akan pernah memilikinya. Maka kita tidak dapat
memperoleh petunjuk apapun darinya, bahkan dalam angan-angan. Pendek kata, kita
dibiarkan untuk melakukan apa yang kita anggap paling baik.



  


Argumentasi tentang kesalahan membunuh



Para etikus juga
tertarik pada prinsip bahwa membunuh seseorang untuk menyelamtkan yang lain
adalah keliru. Mengambil organ-organ Theresa berarti membunuhnya demi
menyelamatkan yang lain, kata mereka. Oleh karena itu, mengambil organ-organnya
merupakan sesuatu yang salah.



 



Apakah argumen ini benar? larangan membunuh tentu
saja merupakan satu dari antara aturan moral yang amat penting. Meskipun
demikian sedikit orang yang percaya bahwa membunuh selalu salah --- kebanyakan
orang yakin bahwa pengecualian kadang dapat dibenarkan. Persoalannya adalah
apakah mengambil organ Theresa harus dipandang sebagai pengecualian dari aturan
tersebut.Ada banyak alasan untuk mendukung hal ini, satu dari yang paling
penting, bahwa dia akan segera meninggal, apapun yang diusahakan, sementara
mengambil organ-organnya paling tidak akan memberikan kebaikan bagi anak-anak
yang lain.



 



Siapapun yang menerima hal ini akan berpandangan
pengandaian pertama dari argumen tersebut keliru. Biasanya memang salah
membunuh seseorang demi menyelamatkan yang lain, tetapi tidak selalu demikian.



 



Tetapi masih ada kemungkinan lain. Barangkali cara
paling baik untuk memahami keseluruhan situasi adalah memandang bayi Theresa
seolah sudah mati. Jikalau hal ini tanpaknya gila, ingat bahwa "kematian
otak" dewasa ini sangat luas diterima sebagai kriterum untuk menyatakan
secara legal telah meninggal. Ketika standar kematian otak diajukan pertam
kali, hal itu ditolak atas dasar alasan bahwa orang dapat saja mati otaknya,
sementara itu banyak hal dalam dirinya masih berlangsung --- dengan bantuan
alat-alat mekanis, jantungnya dapat terus berdetak, dia masih dapat bernafas,
dan sebagainya. Tetapi pada akhirnya kematian otak diterima dan orang menjadi
terbiasa untuk melihatnya sebagai kematian yang "Nyata". Hal ini
masuk akal karena ketika otak berhenti berfungsi, tidak ada lagi harapan untuk
kehidupan yang sadar.



 



Rumpang otak tidak memenuhi tuntutan teknis untuk
bisa disebut kematian otak sebagaimana ada dalam perumusan dewasa ini. Akan
tetapi definisi itu barangkali harus ditulis kembali agar rumpang otak dapat
masuk di dalamnya. Sebab bagaimana pun juga, dalam kasus tersebut kehidupan
sadar tak dapat diharapkan lagi, karena alasan bahwa ia tidak mempunyai
cerebrum atau cerebelum. Jika rumusan kematian otak dirumuskan kembali dengan
memasukkan didalamnya juga rumpang otak, kitapun menjadi terbiasa dengan
gagasan bahwa bayi-bayi yang malang ini telah mati tatkala lahir, dan karena
itu kita tidak akan beranggapan bahwa mengambil organ-organ mereka sama dengan
membunuh. Argumen bahwa membunuh selalu salah pun lantas bisa diperdebatkan.



 



2.  Akal dan Ketidakberpihakan



Apakah yang dapat kita pelajari dari semua ini
menyangkut hakikat moralitas? Sebagai awal, kita dapat mencatat dua pokok utama
: Keputusan moral harus didukung oleh akal yang baik; moralitas menuntut
pertimbangan tak berpihak dari setiap kepentingan individual.



 



Moralitas dan akal



Kasus bayi Theresa dapat melibatkan emosi tinggi.
Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya masalah moral dan
karenanya patut di kagumi. Tetapi perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi
penghambat untuk menemukan kebenaran. Jika kita merasakan emosi yang kuat
terhadap suatu isu, maka muncul dugaan bahwa kita tahu manakah kebenaran yang
sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan.
Sayang, kita tidak dapat mengandalkan perasaan-perasaan kita, betapapun kuatnya
perasaan ini. Pertama, karena mungkin hal itu irasional; semua itu bukan
apa-apa selain dari hasil kecurigaan, penekanan kepentingan diri, atau pun
pengondisian kultural. Lebih lanjut, perasaan orang yang berbeda-beda sering
menyatakan kepada mereka persis sesuatu yang justru berlawanan.



 



Jadi jika kita mau menemukan kebenaran, kita harus
mencoba membiarkan perasaan kita dibimbing sejauh mungkin oleh akal budi, atau
argumentasi, yang bisa diberikan untuk melawan pandangan pandangan itu
.
Moralitas, pertama-tama dan terutama merupakan soal yang bertautan dengan akal;
hal yang secara moral benar untuk dilakukan, dalam lingkup dari apapun juga,
ditentukan oleh alasan-alasan terbaik yang ada untuk melakukannya.



 



Hal yang demikian ini tidak hanya berlaku untuk
lingkup pandangan moral yang sempit, melainkan merupakan tuntutan umum dari
logika yang harus diterima oleh setiap orang tak peduli posisi mereka dalam isu
moral khusus manapun. Pokok yang dasariah boleh jadi dirumuskan dengan amat
sederhana. Andaikata seseorang berkata bahwa anda harus melakukan hal ini atau
hal itu (atau bahwa melakukan ini atau itu adalah salah), maka anda berhak
untuk bertanya mengapa anda harus melakukan hal itu (atau mengapa itu keliru),
dan jika tidak ada alasan yang baik yang diberikan, anda boleh menolak anjuran
itu sebagai sesuatu yang tak berdasar.



 



Denga cara demikian, keputusan keputusan moral
dibedakan dari sekedar ungkapan dari selera pribadi.

Jikalau seorang berkata "saya suka kopi," ia tidak perlu mempunyai
alasan --- dia hanya membuat suatu pernyataan mengenai dirinya, dan tak lebih
dari itu. Tak ada hal yang disebut "pembelaan secara rasional" dari
kesukaan atau ketidak sukaan orang akan kopi. Maka tak ada perbantahan mengenai
hal itu. Sejauh ini ia melaporkan dengan cermat seleranya, apa yang  dikatakan sudah bisa disebut benar.
Lagipula, tak ada implikasi bahwa orang lain harus merasakan hal yang sama.
Jika setiap orang lain di dunia membenci kopi, itu pun tak ada masalah. Tapi
jika seseorang berkata bahwa suatu hal salah secara moral ia membutuhkan alasan
alasan; dan jika alasan-alasannya jernih, orang lain harus mengakui kekuatan
alasan itu. Sementara kalau ia tidak mempunyai alasan yang baik atas apa yang
ia katakan, ia hanya bikin ulah dan kita tak perlu memberikan perhatian
padanya.



 



Tentu saja, tidak setiap alasan yang  dikemukakan merupakan alasan yang baik. Ada
juga alasan yang buruk sebagaimana ada yang 
baik, dan kebanyakan dari keterampilan berpikir moral berupa
membicarakan perbedaan antara keduanya. Tetapi orang menyatakan perbedaan itu,
bagaimana kita harus menaksir argumentasinya, contoh-contoh diatas melukiskan
beberapa pokok yang relevan.



 



Yang pertama adalah memperoleh faktanya langsung.
Sering hal ini tidak mudah seperti kedengarannya. Salah satu sumber dari
kesukaran itu adalah "fakta"-nya kadang kadang sulit dipastikan ---
persoalannya mungkin begitu kompleks dan rumit sehingga para ahlipun tidak
sepaham mengenai fakta itu. Persoalan lainnya menyangkut kecurigaan manusiawi.
Sering kita bersedia untuk mempercayai beberapa versi dari fakta hanya karena
hal itu mendukung prekonsepsi kita. Tetapi fakta itu ada terlepas dari
keinginan kita dan pemikiran moral yang bertanggung jawab, berawal ketika kita
mencoba melihat hal hal sebagaimana adanya.



 



Sesudah faktanya ditetapkan, dan sejauh
dimungkinkan prinsip-prinsip moral diajukan untuk dimainkan. Dalam contoh bayi
Theresa sejumlah prinsip diajukan: bahwa kita "tidak boleh
menggunakan" orang; bahwa kita tidak boleh membunuh seseorang untuk
menyelamatkan orang lain; bahwa kita harus melakukan apa yang  menguntungkan orang yang terkena tindakan
kita; bahwa setiap kehidupan itu suci; dan bahwa keliru untuk mendiskriminasikan
orang-orang cacat.



 



Kebanyakan argumen moral terdiri dari prinsip
prinsip yang dikenakan pada fakta dari kasus kasus khusus.

Maka pertanyaan yang paling jelas untuk diajukan adalah apakah prinsip prinsip
itu benar dan apakah digunakan secara cerdik. Tetapi hal semacam ini tidaklah mengherankan.
Penerapan metode yang sudah biasa di luar kepala tidak pernah menjadi pengganti
yang memuaskan untuk inteligensi yang kritis di wilayah manapun. Tak terkecuali
dalam pemikira moral.



 


Tuntutan
untuk tidak berpihak



Hampir setiap teori penting dari moralitas meliputi
pula gagasan untuk tidak berpihak. Gagasan dasarnya adalah bahwa setiap
kepentingan individual mempunyai kepentingan yang sama: dari sudut pandang
moral, tidak ada orag yang istimewa. Oleh karena itu, setiap dari kita harus
mengenal bahwa kesejahteraan orang lain sama pentingnya dengan kesejahteraan
kita.
Tetapi pada saat yang sama, tuntutan untuk tidak berpihak
mengecualikan skema apapun yang mengancam anggota kelompok yang kurang
beruntung dan dianggap sebagai lebih rendah (inferior) secara moral ---
sebagaimana orang kulit hitam, kaum yahudi (di Amerika) dan lainya dalam
berbagai kesempatan telah diperlakukan secara demikian.



 



Tuntutan untuk tidak berpihak sangat erat kaitannya
dengan pokok bahwa putusan moral harus didukung oleh alasan alasan yang baik.

Tuntutan untuk tidak berpihak, dengan demikian, pada dasarnya tidak lain
daripada suatu penolakan terhadap sikap semena-mena dalam perlakuan terhadap
sesama. Tuntutan semacam ini menjadi aturan yang melarang kita memperlakukan
satu orang secara berbeda dari yang lain jikalau tak ada alasan yang  tepat untuk melakukan hal itu.
Tetapi
jika hal ini menjelaskan apa yang 
keliru pada rasisme, maka hal ini juga mejelaskan mengapa dalam
kasus-kasus khusus perlakuan berbeda terhadap yang lain bukan serta merta suatu
sikap rasis. Misalnya, seorang direktur film membuat sebuah film mengenai hidup
Martin Luther King, Jr. Ia tentu saja mempunyai alasan baik untuk mengecualikan
Tom Cruise, untuk peran bintang tersebut --- karena pemilihan pemain seperti
itu tidak masuk akal. Karena ada alasan yang tepat untuk itu,
"diskriminasi" sang direktur bukanlah sesuatu yangsemenamena dan
karenanya tidak bisa sikenai kritik



 



3. Konsepsi Minimal
Untuk Moralitas



Konsep minimum dapatlah sekarang dinyatakan dengan
pendek: moralitas, setidak-tidaknya (sebeli-belie tah red
J ),
merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, --- yakni,
untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang
sama menyangkut kepentingan setiap iindividu yang akn terkena oleh tindakan itu



 



Hal ini antara lain memberi kepada kita suatu
gambaran mengenai apa artinya menjadi pelaku moral yang sadar. Pelaku moral
yang sadar adalah seseorang yang mampu mempunyai keprihatinan, tanpa pandang
bulu kepada kepentingan setiap orang yang terkena apa yang ia lakukan; dia
dengan hati-hati menggeser fakta dan meneliti imlikasi implikasinya; dia
menerima prinsip-prinsip tingkah laku hanya setelah menyelidikinya dengan
seksama untuk memperolah kepastian bahwa prinsip prinsip itu sehat; dia mau
"mendengarkan akal bahkan juga kalau itu berarti bahwa keyakinan keyakinan
sebelumnya perlu diperbaharui. Akhirnya dia juga bersedia untuk betindak demi
hasil-hasil peryeimbangan ini.



 



Tentu saja, sebagaimana dapat diharapkan, tidak setiap
teori dapat menerima "minimum" ini ---  namun, teori-teori yang menolak konsepsi minimum akan menemui
kesulitan-kesulitan yang berat karena menolak itu. Kebanyakan filsuf menyadari
hal ini, maka kebanyakan teori moralitas memasukkan konsepsi minimum kedalam
suatu bentuk atau bentuk yang lain. Mereka tidak setuju bukan menyangkut
minimum itu tetapi mengenai bagaimana teori-teori itu harus diperluas, dan
mungkin dimodifikasi supaya memperoleh suatu perhitungan yang sangat memuaskan.
Waallohu a’lam bishshawab. (bagaimana menurut Anda? )



 



 


Nuning Mumarisal Haq, Putri ke-5 KH. Fuad Hasyim, Mahasiswa S2 Fakultas FIlsafat dan ilmu budaya, Universitas Indonesia
 

0 comments:

Sekilas tentang Moralitas dalam Pandangan Umum

Posted by Unknown  |  at  10:27 AM





filsafatOleh : Nuning Mumarisal Haq



Kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup.
Kata Socrates, seperti dilaporkan Plato dalam
Republic (sekitar 390 S.M).  Ungkapan  ini menarik untuk dibahas terkait dengan pandangan terhadap filsafat moral secara umum.  Artinya, bagaimana orang umum (bukan agamawan) memandang moralitas. 



 



1. Persolan definisi



Filsafat moral adalah upaya untuk
mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut
dari kita --- meminjam kata kata Socrates, tentang "bagaimana
seharusnya kita hidup"
dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna
jikalau kita dapat memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak
kontroversial mengenai moralitas.Tetapi ternyata tidak mungkin demikian sebab
akan muncul definisi pesaing, dimana masing masing mengutarakan konsep yang
berbeda mengenai apa artinya hidup secara moral itu. Parahnya, definisi
yang melampaui rumusan Socrates yang sederhana itu akan saling menyerang satu
sama lain.



 



Hal ini membuat kita harus berhati-hati, namun
tidak perlu sampai melumpuhkan kita.saya akan coba mengutarakan apa yang  saya sebut dengan istilah "konsepsi
minimum"dari moralitas.sebagaimana tampak dari rumusan ini konsepsi
minimum merupakan pokok yang bisa diterima oleh setiap teori moral, paling
tidak sebagai titik tolak.kita akan mulai dengan secara agak mendetail sebuah
kontroversi moral.Sosok dari konsepsi minimum ini akan muncul dari pertimbangan
kita mengenai satu buah contoh di bawah ini



 



Contoh kasus Bayi
Theresa



Theresa Ann Campo Pearson, seorang anak penderita
rumpang (anencephaly) yang dikenal publik sebagai "bayi Theresa",
lahir di florida tahun 1992.Rumpang otak merupakan cacat bawaan yang paling
buruk.Bayi penderita rumpang otak kadang dianggap sebagai "bayi tanpa
otak" dan hal ini memberi gambaran yang kurang lebih benar, tetapi tidak
tepat.Bagian penting dari otak --- cerebrum dan cerebellum --- hilang, juga
bagian atas dari tengkorak.Namun batang otak tetap ada dan fungsi fungsi
otonomik seperti pernapasan dan detak jantung tetap berjalan.



 



Kisah mengenai Theresa tidak akan dikenal kalau
orang tuanya tidak mengajukan permintaan yang tidak lazim. Ketika tahu anak
mereka tidak akan hidup lama dan kalaupun dapat hidup, dia tidak akan mempunyai
kesadaran orang tua bayi Theresa kemudian merelakan organ anaknya untuk
transplantasi. Mereka berpikir ginjal, hati, jantung, paru paru dan mata Theresa
dapat disumbangkan untuk anak anak lain, yang dapat memanfaatkannya.



 



Kemudian para
dokter sepaham, hal ini sebagai sesuatu yang baik. Paling sedikit 2000 anak
memerlukan transplantasi setiap tahunnya dan organ yang bisa digunakan tidak
pernah cukup. Meskipun demikian, organ-organ ini tidak juga diambil karena
hukum di Florida tidak memperbolehkan pengambilan organ-organ kalau si pemberi
belum meninggal. Ketika bayi Theresa meninggal, 9 hari kemudian saat itu sudah
terlambat bagi anak anak lain.  Organ-organ
itu tidak dapat ditransplantasikan lagi karena sudah rusak.



 


Diskusi
Publik



Kisah mengenai bayi Theresa disurat kabar
menimbulkan banyak diskusi publik: Apakah bisa dibenarkan organ-organ seorang
anak, yang mengakibatkan kematiannya, demi menolong anak anak lain? Sejumlah
"etikus" profesional, yang bekerja di unversitas, rumah sakit dan
sekolah sekolah hukum, yang tugasnya memikirkan soal-soal seperti ini diundang
oleh surat kabar untuk memberi komentar. Mengherankan, tenyata hanya sedikit
dari antara mereka yang setuju dengan dokter dan orang tua anak itu. Mereka
setia pada prinsip filosofis yang menghormati waktu tepat dalam pengambilan
organ tersebut."



 



Tampaknya sangat mengerikan, untuk menggunakan
orang sebagai sarana bagi tujuan orang lain," katakanlah seorang dari ahli
itu dan yang lain menerangkan, "tidaklah etis membunuh dengan alasan untuk
menyelamatkan. Tidak etis pribadi A untuk menyelamatkan pribadi B." dan
yang ketiga menambahkan: "yang sesungguhnya diminta oleh orang tua anak
itu : bunuhlah bayi yang sedang sekarat ini supaya organ-organnya dapat
digunakan untuk orang lain. Waaah, permintaan semacam ini memang
mengerikan."



 



Apakah memang mengerikan? pendapat orang terbelah
dua. Para etikus ini berpikir begitu, sementara orang tua dan dokter dokter
tidak demikian. Akan tetapi, kita tarik lebih dari sekedar apa yang dipikirkan
orang orang. Kita ingin tahu kebenaran masalah ini apakah orang tua ini benar
atau keliru jikalau merelakan organ-organ bayinya untuk transplantasi? Jikalau
kita ingin tahu kebenaran, kita harus memiliki alasan atau argumentasi manakah
yang diberikan dari kedua pihak itu? Apakah yang dapat dikatakan untuk
membenarkan permintaan orang tua itu, atau untuk menyatakan bahwa permintaan
semacam itu keliru.



 


Argumentasi Keuntungan



Usulan orang tua Theresa didasarkan pada gagasan
bahwa karena Theresa segera akan meninggal, organ-organ tubuhnya tidak berguna
bagi tubuhnya. Namun anak-anak lain dapat memanfaatkan organ-organ itu. Maka
alasan mereka itu tampaknya: Kalau kita dapat mencari keuntungan dari
seseorang, tanpa merugikan yang lain, kita harus melakukannya. Transplantasi
organ-organ ini akan menguntungkan anak anak lain dan tidak merugikan bayi
Theresa. Maka kita harus melakukan transplantasi organ-organ itu.



 



Apakah ini benar? Tidak setiap argumen bisa
dibenarkan;
dan selain mengetahui argumen mana yang dapat
diberikan untuk suatu pandangan, kita juga ingin tahu, apakah argumen argumen
itu baik. Pada umumnya argumen dianggap baik jikalau pengandaian-pengandaiannya
benar dan kesimpulanya muncul secara logis dari pengandaian itu. Dalam hal ini,
kita boleh mempertanyakan mengenai pernyataan bahwa Theresa tidak dirugikan.



 



Memang, dia akan meninggal namun bukankah hal suatu
keburukan? Tetapi dengan merenungkannya tampaknya jelas, dalam lingkungan yang
tragis ini, orang tuanya benar --- kehidupan buka membuatnya menjadi baik.
Hidupnya hanya menguntungkan jikalau membuatnya mampu menjalankan dan mempunyai
pikiran, perasaan, dan relasi relasi dengan orang lain --- dengan kata lain,
jikalau hal itu membuatnya memiliki kehidupan. Tanpa adanya kemungkinan untuk
hal hal demikian itu, keberadaan yang 
semata-mata biologis tidak ada artinya. Oleh karenanya meskipun Theresa
dapat bertahan hidup untuk beberapa hari lagi, hal itu tidak membuatnya lebih
baik. (kita dapat membayangkan lingkungan di mana orang lain akan memperoleh
sesuatu dengan menjaga kehidupannya, tetapi hal itu tidak sama dengan demi
keuntungan Theresa).



 



Pada argumentasi keuntungan mengarah kepada
tindakan memberikan alasan yang kuat untuk melakukan transplantasi organ.



 



Bagaimanakah argumen dari sisi yang lain?



Argumentasi bahwa kita tidak boleh memperlakukan
orang lain sebagai sarana.







Para etikus yang melawan transplantasi mengajukan
dua argumen. Pertama berdasarkan gagasan bahwa kelirulah memperlakukan
orang sebagai sarana untuk tujuan orang lain. Mengambil organ-organ Theresa
berarti mempergunakan dia untuk keuntungan anak anak lain; oleh karenanya hal
itu tidak boleh dilakukan.



 



Apakah argumen ini benar? gagasan bahwa kita tidak
boleh "menggunakan" orang memang menarik, tetapi perlu dipertajam
karena agak kabur maksudnya. Apa arti persisnya?



 



"Mempergunakan orang" merupakan
pelanggaran otonomi --- kemampuan mereka untuk memberi putusan untuk dirinya
sendiri, bagaimana harus menghayati hidupnya sendiri, menuruti hasrat dan
nilai-nilai mereka sendiri. Otonomi seseorang bisa dilanggar melalui
manipulasi, kelicikan, dan penipuan. Misalnya, saya berpura-pura menjadi teman
anda hanya karena saya tertarik bertemu dengan saudara anda. Atau saya mungkin
menipu anda untuk memperoleh pinjaman. Atau saya berusaha meyakinkan anda akan
senang menghadiri konser di kota lain hanya karena saya mau anda membawa serta
saya.



 



Dalam setiap kasus di atas, saya menipu anda untuk
memperoleh sesuatu bagi diri saya. Otonomi juga dilanggar ketika orang dipaksa
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan mereka. Hal ini menjelaskan
mengapa "menggunakan orang" "itu keliru. Hal itu juga menjadi
keliru karena adanya penipuan, kelicikan, atau pemaksaan.



 



Sedangkan mengambil organ-organ dari tubuh Theresa
tidaklah berkait dengan penipuan, kelicikan atau pemaksaan. Apakah ada arti
lain dari konsep moral selain "menggunakan dia?" tentu saja kita
menggunakan organ-organ itu untuk keuntungan seeorang yang lain. Hal semacam
ini kita lakukan dalam setiap transplantasi. Namun dalam hal ini, kita
melakukan hal itu tanpa seizinnya. Apakah hal ini keliru? jika kita melakukan
hal itu dengan berlawanan dengan kehendaknya, hal itu bisa jadi alasan keberatannya.
Karena hal itu merupakan pelanggaran otonominya. Tetapi bayi Theresa bukan lah
makhluk otonom; dia tidak mempunyai keinginan dan tidak bisa mengambil
keputusan untuk dirinya. Karena dia menderita rumpang otak.



 



Jika orang tidak mampu mengambil keputusan untuk
diri mereka sendiri dan yang lain harus melakukan hal itu untuknya. Ada dua
petunjuk yang masuk akal yang bisa diikuti. Pertama, kita bisa bertanya
apakah kiranya yang bisa menjadi kepentingannya yang paling baik? Jika kita
terapkan standar ini bagi bayi Theresa, tampaknya tak akan ada keberatan untuk
mengambil organ-organnya, karena sebagaimana telah kita lihat,
kepentingan-kepentingannya tidak akan dipengaruhi dengan cara apapun.Bagaimana
pun juga, dia akan segera meninggal.



 



Petunjuk kedua menarik bagi kesenangan pribadi
orang yang bersangkutan;
Kita bisa bertanya, jika dia
dapat mengatakan kepada kita apa yag ia inginkan, apa kiranya yang akan di
katakannya? pemikiran semacam ini sering berguna ketika kita bermasalah dengan
orang yang kita tau, dia mempunyai kesenangan, namun tidak mampu
mengungkapkannya (misalnya, seorang yang mengalami koma yang memberi
tanda-tanda kemauan untuk hidup).Tetapi sayang, bayi Theresa tidak mempunyai
kesukaan apapun dan tidak akan pernah memilikinya. Maka kita tidak dapat
memperoleh petunjuk apapun darinya, bahkan dalam angan-angan. Pendek kata, kita
dibiarkan untuk melakukan apa yang kita anggap paling baik.



  


Argumentasi tentang kesalahan membunuh



Para etikus juga
tertarik pada prinsip bahwa membunuh seseorang untuk menyelamtkan yang lain
adalah keliru. Mengambil organ-organ Theresa berarti membunuhnya demi
menyelamatkan yang lain, kata mereka. Oleh karena itu, mengambil organ-organnya
merupakan sesuatu yang salah.



 



Apakah argumen ini benar? larangan membunuh tentu
saja merupakan satu dari antara aturan moral yang amat penting. Meskipun
demikian sedikit orang yang percaya bahwa membunuh selalu salah --- kebanyakan
orang yakin bahwa pengecualian kadang dapat dibenarkan. Persoalannya adalah
apakah mengambil organ Theresa harus dipandang sebagai pengecualian dari aturan
tersebut.Ada banyak alasan untuk mendukung hal ini, satu dari yang paling
penting, bahwa dia akan segera meninggal, apapun yang diusahakan, sementara
mengambil organ-organnya paling tidak akan memberikan kebaikan bagi anak-anak
yang lain.



 



Siapapun yang menerima hal ini akan berpandangan
pengandaian pertama dari argumen tersebut keliru. Biasanya memang salah
membunuh seseorang demi menyelamatkan yang lain, tetapi tidak selalu demikian.



 



Tetapi masih ada kemungkinan lain. Barangkali cara
paling baik untuk memahami keseluruhan situasi adalah memandang bayi Theresa
seolah sudah mati. Jikalau hal ini tanpaknya gila, ingat bahwa "kematian
otak" dewasa ini sangat luas diterima sebagai kriterum untuk menyatakan
secara legal telah meninggal. Ketika standar kematian otak diajukan pertam
kali, hal itu ditolak atas dasar alasan bahwa orang dapat saja mati otaknya,
sementara itu banyak hal dalam dirinya masih berlangsung --- dengan bantuan
alat-alat mekanis, jantungnya dapat terus berdetak, dia masih dapat bernafas,
dan sebagainya. Tetapi pada akhirnya kematian otak diterima dan orang menjadi
terbiasa untuk melihatnya sebagai kematian yang "Nyata". Hal ini
masuk akal karena ketika otak berhenti berfungsi, tidak ada lagi harapan untuk
kehidupan yang sadar.



 



Rumpang otak tidak memenuhi tuntutan teknis untuk
bisa disebut kematian otak sebagaimana ada dalam perumusan dewasa ini. Akan
tetapi definisi itu barangkali harus ditulis kembali agar rumpang otak dapat
masuk di dalamnya. Sebab bagaimana pun juga, dalam kasus tersebut kehidupan
sadar tak dapat diharapkan lagi, karena alasan bahwa ia tidak mempunyai
cerebrum atau cerebelum. Jika rumusan kematian otak dirumuskan kembali dengan
memasukkan didalamnya juga rumpang otak, kitapun menjadi terbiasa dengan
gagasan bahwa bayi-bayi yang malang ini telah mati tatkala lahir, dan karena
itu kita tidak akan beranggapan bahwa mengambil organ-organ mereka sama dengan
membunuh. Argumen bahwa membunuh selalu salah pun lantas bisa diperdebatkan.



 



2.  Akal dan Ketidakberpihakan



Apakah yang dapat kita pelajari dari semua ini
menyangkut hakikat moralitas? Sebagai awal, kita dapat mencatat dua pokok utama
: Keputusan moral harus didukung oleh akal yang baik; moralitas menuntut
pertimbangan tak berpihak dari setiap kepentingan individual.



 



Moralitas dan akal



Kasus bayi Theresa dapat melibatkan emosi tinggi.
Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya masalah moral dan
karenanya patut di kagumi. Tetapi perasaan kuat semacam ini juga dapat menjadi
penghambat untuk menemukan kebenaran. Jika kita merasakan emosi yang kuat
terhadap suatu isu, maka muncul dugaan bahwa kita tahu manakah kebenaran yang
sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan argumentasi dari sisi lawan.
Sayang, kita tidak dapat mengandalkan perasaan-perasaan kita, betapapun kuatnya
perasaan ini. Pertama, karena mungkin hal itu irasional; semua itu bukan
apa-apa selain dari hasil kecurigaan, penekanan kepentingan diri, atau pun
pengondisian kultural. Lebih lanjut, perasaan orang yang berbeda-beda sering
menyatakan kepada mereka persis sesuatu yang justru berlawanan.



 



Jadi jika kita mau menemukan kebenaran, kita harus
mencoba membiarkan perasaan kita dibimbing sejauh mungkin oleh akal budi, atau
argumentasi, yang bisa diberikan untuk melawan pandangan pandangan itu
.
Moralitas, pertama-tama dan terutama merupakan soal yang bertautan dengan akal;
hal yang secara moral benar untuk dilakukan, dalam lingkup dari apapun juga,
ditentukan oleh alasan-alasan terbaik yang ada untuk melakukannya.



 



Hal yang demikian ini tidak hanya berlaku untuk
lingkup pandangan moral yang sempit, melainkan merupakan tuntutan umum dari
logika yang harus diterima oleh setiap orang tak peduli posisi mereka dalam isu
moral khusus manapun. Pokok yang dasariah boleh jadi dirumuskan dengan amat
sederhana. Andaikata seseorang berkata bahwa anda harus melakukan hal ini atau
hal itu (atau bahwa melakukan ini atau itu adalah salah), maka anda berhak
untuk bertanya mengapa anda harus melakukan hal itu (atau mengapa itu keliru),
dan jika tidak ada alasan yang baik yang diberikan, anda boleh menolak anjuran
itu sebagai sesuatu yang tak berdasar.



 



Denga cara demikian, keputusan keputusan moral
dibedakan dari sekedar ungkapan dari selera pribadi.

Jikalau seorang berkata "saya suka kopi," ia tidak perlu mempunyai
alasan --- dia hanya membuat suatu pernyataan mengenai dirinya, dan tak lebih
dari itu. Tak ada hal yang disebut "pembelaan secara rasional" dari
kesukaan atau ketidak sukaan orang akan kopi. Maka tak ada perbantahan mengenai
hal itu. Sejauh ini ia melaporkan dengan cermat seleranya, apa yang  dikatakan sudah bisa disebut benar.
Lagipula, tak ada implikasi bahwa orang lain harus merasakan hal yang sama.
Jika setiap orang lain di dunia membenci kopi, itu pun tak ada masalah. Tapi
jika seseorang berkata bahwa suatu hal salah secara moral ia membutuhkan alasan
alasan; dan jika alasan-alasannya jernih, orang lain harus mengakui kekuatan
alasan itu. Sementara kalau ia tidak mempunyai alasan yang baik atas apa yang
ia katakan, ia hanya bikin ulah dan kita tak perlu memberikan perhatian
padanya.



 



Tentu saja, tidak setiap alasan yang  dikemukakan merupakan alasan yang baik. Ada
juga alasan yang buruk sebagaimana ada yang 
baik, dan kebanyakan dari keterampilan berpikir moral berupa
membicarakan perbedaan antara keduanya. Tetapi orang menyatakan perbedaan itu,
bagaimana kita harus menaksir argumentasinya, contoh-contoh diatas melukiskan
beberapa pokok yang relevan.



 



Yang pertama adalah memperoleh faktanya langsung.
Sering hal ini tidak mudah seperti kedengarannya. Salah satu sumber dari
kesukaran itu adalah "fakta"-nya kadang kadang sulit dipastikan ---
persoalannya mungkin begitu kompleks dan rumit sehingga para ahlipun tidak
sepaham mengenai fakta itu. Persoalan lainnya menyangkut kecurigaan manusiawi.
Sering kita bersedia untuk mempercayai beberapa versi dari fakta hanya karena
hal itu mendukung prekonsepsi kita. Tetapi fakta itu ada terlepas dari
keinginan kita dan pemikiran moral yang bertanggung jawab, berawal ketika kita
mencoba melihat hal hal sebagaimana adanya.



 



Sesudah faktanya ditetapkan, dan sejauh
dimungkinkan prinsip-prinsip moral diajukan untuk dimainkan. Dalam contoh bayi
Theresa sejumlah prinsip diajukan: bahwa kita "tidak boleh
menggunakan" orang; bahwa kita tidak boleh membunuh seseorang untuk
menyelamatkan orang lain; bahwa kita harus melakukan apa yang  menguntungkan orang yang terkena tindakan
kita; bahwa setiap kehidupan itu suci; dan bahwa keliru untuk mendiskriminasikan
orang-orang cacat.



 



Kebanyakan argumen moral terdiri dari prinsip
prinsip yang dikenakan pada fakta dari kasus kasus khusus.

Maka pertanyaan yang paling jelas untuk diajukan adalah apakah prinsip prinsip
itu benar dan apakah digunakan secara cerdik. Tetapi hal semacam ini tidaklah mengherankan.
Penerapan metode yang sudah biasa di luar kepala tidak pernah menjadi pengganti
yang memuaskan untuk inteligensi yang kritis di wilayah manapun. Tak terkecuali
dalam pemikira moral.



 


Tuntutan
untuk tidak berpihak



Hampir setiap teori penting dari moralitas meliputi
pula gagasan untuk tidak berpihak. Gagasan dasarnya adalah bahwa setiap
kepentingan individual mempunyai kepentingan yang sama: dari sudut pandang
moral, tidak ada orag yang istimewa. Oleh karena itu, setiap dari kita harus
mengenal bahwa kesejahteraan orang lain sama pentingnya dengan kesejahteraan
kita.
Tetapi pada saat yang sama, tuntutan untuk tidak berpihak
mengecualikan skema apapun yang mengancam anggota kelompok yang kurang
beruntung dan dianggap sebagai lebih rendah (inferior) secara moral ---
sebagaimana orang kulit hitam, kaum yahudi (di Amerika) dan lainya dalam
berbagai kesempatan telah diperlakukan secara demikian.



 



Tuntutan untuk tidak berpihak sangat erat kaitannya
dengan pokok bahwa putusan moral harus didukung oleh alasan alasan yang baik.

Tuntutan untuk tidak berpihak, dengan demikian, pada dasarnya tidak lain
daripada suatu penolakan terhadap sikap semena-mena dalam perlakuan terhadap
sesama. Tuntutan semacam ini menjadi aturan yang melarang kita memperlakukan
satu orang secara berbeda dari yang lain jikalau tak ada alasan yang  tepat untuk melakukan hal itu.
Tetapi
jika hal ini menjelaskan apa yang 
keliru pada rasisme, maka hal ini juga mejelaskan mengapa dalam
kasus-kasus khusus perlakuan berbeda terhadap yang lain bukan serta merta suatu
sikap rasis. Misalnya, seorang direktur film membuat sebuah film mengenai hidup
Martin Luther King, Jr. Ia tentu saja mempunyai alasan baik untuk mengecualikan
Tom Cruise, untuk peran bintang tersebut --- karena pemilihan pemain seperti
itu tidak masuk akal. Karena ada alasan yang tepat untuk itu,
"diskriminasi" sang direktur bukanlah sesuatu yangsemenamena dan
karenanya tidak bisa sikenai kritik



 



3. Konsepsi Minimal
Untuk Moralitas



Konsep minimum dapatlah sekarang dinyatakan dengan
pendek: moralitas, setidak-tidaknya (sebeli-belie tah red
J ),
merupakan usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, --- yakni,
untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang
sama menyangkut kepentingan setiap iindividu yang akn terkena oleh tindakan itu



 



Hal ini antara lain memberi kepada kita suatu
gambaran mengenai apa artinya menjadi pelaku moral yang sadar. Pelaku moral
yang sadar adalah seseorang yang mampu mempunyai keprihatinan, tanpa pandang
bulu kepada kepentingan setiap orang yang terkena apa yang ia lakukan; dia
dengan hati-hati menggeser fakta dan meneliti imlikasi implikasinya; dia
menerima prinsip-prinsip tingkah laku hanya setelah menyelidikinya dengan
seksama untuk memperolah kepastian bahwa prinsip prinsip itu sehat; dia mau
"mendengarkan akal bahkan juga kalau itu berarti bahwa keyakinan keyakinan
sebelumnya perlu diperbaharui. Akhirnya dia juga bersedia untuk betindak demi
hasil-hasil peryeimbangan ini.



 



Tentu saja, sebagaimana dapat diharapkan, tidak setiap
teori dapat menerima "minimum" ini ---  namun, teori-teori yang menolak konsepsi minimum akan menemui
kesulitan-kesulitan yang berat karena menolak itu. Kebanyakan filsuf menyadari
hal ini, maka kebanyakan teori moralitas memasukkan konsepsi minimum kedalam
suatu bentuk atau bentuk yang lain. Mereka tidak setuju bukan menyangkut
minimum itu tetapi mengenai bagaimana teori-teori itu harus diperluas, dan
mungkin dimodifikasi supaya memperoleh suatu perhitungan yang sangat memuaskan.
Waallohu a’lam bishshawab. (bagaimana menurut Anda? )



 



 


Nuning Mumarisal Haq, Putri ke-5 KH. Fuad Hasyim, Mahasiswa S2 Fakultas FIlsafat dan ilmu budaya, Universitas Indonesia
 

0 comments:

Copyright © 2013 Blog Backup Buntet Pesantren. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top