Siapakah "kyai"? Apa yang kau ketahui tentang "kyai"?

Posted by Unknown  |  at  9:02 PM


Hari Minggu, 25 Agustus 2013, Gus Mus melalui akun @gusmusgusmu menyiarkan serangkaian twit yang menarik --dalam khazanah twitter lazim disebut TL, yang mana saya sendiri tidak tahu itu singkatan apa.

"Sering kita TIDAK (bisa) MEMBEDAKAN sesuatu yg BERBEDA dan tidak jarang kita MEMBEDAKAN sesuatu yang (sebenarnya) SAMA", demikian Gus Mus membuka TL-nya. Kemudian beliau memberikan contoh-contoh, "USTADZ dan DA'I tidak sama. Malah USTADZ dengan GURU itu semakna... USTADZ dan KIAI itu berbeda sebagaimana KIAI dan ULAMA itu tidak sama...", dan seterusnya... --silahkan telusuri sendiri akun twitter beliau.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Mus juga kerap membeberkan hasil penelitian beliau menyangkut kategorisasi kyai,

"Ada kyai rekomendasi masyarakat, seperti Kyai Mimoen Zubair; ada kyai rekomendasi Pemerintah, yakni MUI", beliau merinci, "ada kyai rekomendasi media massa, contohnya saya sendiri; ada kyai dukungan dunia maya...; ada kyai artis..."

Jadi, siapakah kyai?

Di kalangan masyarakat pesantren, gelar "kyai" pada mulanya disematkan kepada sesiapa yang diakui keunggulan ilmunya dan diyakini kematangan ruhaninya serta mengasuh pondok pesantren. Sedemikian krusialnya gelar itu sampai-sampai pada sekitar tahun 1930-an pernah diadakan bahtsul masail diantara para ulama Indonesia yang bermukim di Makkah pada waktu itu, dengan pokok bahasan: "Bolehkah memanggil atau memberi gelar 'kyai' kepada orang tidak berhak?" Jawaban hasil pembahasannya: "Tidak boleh"!

Tapi penetapan hasil bahtsul masail di Makkah itu tidak lama pengaruhnya. Makin lama, kriteria ke-kyai-an cenderung makin longgar. Di kampung-kampung, orang yang dituakan asalkan sudah bisa memimpin tahlil, dipanggillah ia kyai. Semua muballigh dipanggil kyai, tak perduli kalaupun profesi utamanya yang asli adalah penyanyi atau pelawak. Bahkan ada yang dipanggil kyai hanya karena "kepaten bapak" (ditinggal mati bapaknya). Contohnya saya sendiri. Begitu ayah saya meninggal, sekelompok orang langsung memanggil saya "kyai", tanpa "fit and proper test" sama sekali!

Dalam jam'iyyah Nahdlatul Ulama sendiri, orang yang walaupun bukan ahli agama tapi bisa menjabat Ketua Tanfidziyah dalam waktu cukup lama, bisa lantas dipanggil kyai. Maka dewasa ini tak sedikit kita jumpai mantan Ketua Tanfidziyah di berbagai tingkatan yang sesudah habis masa baktinya kemudian masuk jajaran Syuriyah, bahkan menjadi Rois! 

Yah... disebut dengan panggilan "kyai" memang menyenangkan, walaupun kau sendiri menyadari belum maqom-mu. Apalagi kalau kemudian orang-orang berebut menciumi tanganmu bolaik-balik. Hanya yang sungguh-sungguh orang baik saja yang merasa jengah karenanya.

Barangkali hanya ada satu orang di dunia fana ini yang walaupun sudah menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU sekaligus pengurus MUI pusat tapi justru sakit hati kalau dipanggil dengan embel-embel kyai. Yaitu: Pak Slamet (Drs. H. Slamet Efendi Yusuf).

Adapun yang sekedar enggan saja tapi tidak sampai sakit hati juga ada. Yakni: Gus Dur. Menurut Gus Mus, sebutan "gus" itu aslinya diperuntukkan bagi putera kyai yang belum pantas disebut kyai. Tapi Gus Dur yang sudah jauh melebihi batas kepantasan pun tetap saja dipanggil dengan "Gus".

Akino Wewe meriwayatkan, suatu kali salah seorang pengasuh Ponsok Pesantren Lirboyo, Kediri, menanyakan langsung kepada Gus Dur tentang hal itu. Apa jawaban Gus Dur?

"Saya sih lebih seneng dipanggil 'Gus'! Sebutan 'kyai' terlalu berat buat saya. Kyai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit... Nggak kuat saya.... Enakan jadi gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong..."



disadur dari fanpage terong gosong

0 comments:

Asal-usul Istilah dan Tradisi Halalbihalal di Indonesia

Posted by Unknown  |  at  12:10 AM

sumber: http://images.solopos.com/2012/08/HALAL-BI-HALAL-dwi-prasetya.jpg
Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Perayaan diwarnai dengan takbir, tasbih dan tahmid sepanjang hari. Berikutnya setelah melaksanakan shalat Id, jamaah saling bertegur sapa dan saling mendoakan. Rona ceria nampak pada wajah setiap orang. Suasana seperti ini umum kita temui pada momen Idul Fitri. Tapi, ada satu tradisi yang khas di Indonesia pada momen Idul Fitri ini, tradisi halalbihalal.

Sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halalbihalal ini yaitu sebuah tradisi yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat itu, kunjungan terhadap orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.

Adapun asal-usul istilah halalbihalal memiliki beragam versi. Halalbihalal sendiri merupakan istilah bahasa Indonesia yang menggunakan kata berbahasa Arab. Di negara Arab sendiri, baik kata maupun tradisinya, tidak ada sama sekali. Ini betul-betul khas Indonesia. Karena keunikannya, sehingga seorang dubes Belanda untuk Indonesia yang juga ahli sastra Arab, Nikolaos Van Dam, mengira bahwa halalbihalal adalah kata berbahasa Arab. Namun, setelah mencari referensi literatur Arab, ternyata dia tidak menemukan sama sekali kata maupun tradisi yang dimaksud.

Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, halalbihalal (ditulis sebagai satu kata tanpa spasi) sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Halalbihalal dalam kamus tersebut terdapat pada entri huruf 'A' dengan kata 'alal behalal' dengan arti yang sama dengan arti 'halalbihalal' yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia.

Salah satu versi menyebutkan bahwa kata halalbihalal sudah ada sejak tahun 1935-1936. Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta. Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan. Untuk menarik para pembeli, Si Pembantu tadi berteriak-teriak, "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!" Kemudian anak-anak menirukan ucapannya dengan "halal behalal". Sejak saat itu, istilah halal behalal menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.

Versi lain menyebutkan bahwa halalbihalal merupakan gabungan kata berbahasa Arab. Ada dua kata halal yang berarti 'boleh' atau 'diizinkan' digabungkan dengan kata penghubung bi yang berarti 'dengan'. Sehingga berarti halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain. Meskipun ketiga kata ini berasal dari bahasa Arab, tidak dikenal penggabungan kata seperti itu dalam bahasa Arab.

Versi berikutnya menyebutkan bahwa kata halalbihalal berawal dari keterbatasan bangsa Indonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawar-menawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata "halal?". Lalu ketika penjual berkata "halal", maka transaksi disetujui bersama.

Apapun yang melatarbelakangi munculnya tradisi dan istilah ini di bumi Indonesia, ini adalah nilai bangsa yang harus dilestarikan sebagai bukti bahwa agama tidak bertentangan dengan budaya lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuhkembangnya. Seperti juga yang diakui oleh Umar Kayam, seorang budayawan Indonesia, yang menilai tradisi halalbihalal ini sebagai terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.

Referensi:

0 comments:

Copyright © 2013 Blog Backup Buntet Pesantren. WP Theme-junkie converted by BloggerTheme9
Blogger template. Proudly Powered by Blogger.
back to top