"BUMI
PERJUANGAN, YANG TERUS BERSINAR TERANG"Oleh: Zulfa Rafik Iskandar
Saya baru saja pulang kampung, di desa
kelahiran saya. Sebuah desa kecil dilereng Gunung Perahu bernama Desa Getas Kecamatan Bawang Kabupaten Batang, sebuah
Kabupaten yang dulunya masuk daerah administratif Pekalongan Jawa Tengah.
Kebetulan ada acara keluarga sehingga harus pulang kampung. Hanya satu hari
saya dirumah dan selanjutnya berangkat kembali ke Jakarta tempat perantauan
saya sekarang. Tidak lupa saya mampir sowan ke kediaman Habib Luthfy Bin Yahya
yang merupakan sesepuh kami masyarakat Pekalongan dan sekitarnya.
Walaupun usianya belum teramat sepuh, tapi
karena kapasitas keilmuwan beiau maka banyak ulama yang lebih sepuh (baca -tua)
juga berkonsultasi ke beliau. Sesampai di kediaman Habib, ternyata beliau
sedang melatih ketropak Islami dengan tema "Sunan Kalijaga". Yang dilatih
adalah bapak-bapak dari Dewan Kesenian Pekalongan di dampingi Sekretaris Daerah
Kabupaten Pekalongan.
Ketropak Islami tersebut nantinya akan di pentaskan
dalam rangka memeriahkan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Secangkir teh
dituangkan dan Abah Habib, -begitu kami memanggil beliau- mulai memberikan
konsultasi dan nasihat kepada setiap tamu yang hadir. Lebih kurang 2 jam saya
sowan di kediaman Abah Habib dan mendapatkan amanat sebuah "ijazah" tentang
tata kerama melakukan istikharah dengan Al-Qur'an, saya pun pamit untuk
melanjutkan perjalanan. Saya sampaikan ke beliau bahwa saya akan mampir ke
Buntet Pesantren, beliaupun menitipkan salam untuk segenap ahli (keluarga besar) Buntet.
Mobil saya melaju kencang, rupanya sopir
saya ingin segera sampai Buntet dan segera bisa istirahat. Pukul 22.00 malam saya
sampai di Buntet Pesantren. Saya langsung menuju Asrama C Al-Firdaus salah satu
pondok di Buntet dimana KH.Hasanuddin Busyrol Karim mengasuh para santrinya.
Dulu disinilah saya mulai mengenal al-Qur'an dan ilmu agama lainnya.
Setelah bersalaman dan bincang-bincang
sebentar dengan sang Kyai, saya pamit untuk ke kamar santri tempat saya dulu
menikmati tikar sebagai alas tidur dan lipatan sajadah sebagai bantalnya. Tapi
Kyai melarang, katanya ada kamar kosong
di lantai dua rumahnya. Tadinya kamar tersebut milik putrinya Dede Siti
Fatimatuz Zahra yang sekarang sedang nyantri di PP Ploso Kediri Jawa Timur. Beginilah
memang cara keluarga Buntet menghormati tamu maupun alumninya. Dengan pintu
yang selalu terbuka selam 24 jam dan sambutan hangat bersahabat. KH. Hasanuddin
Busyrol Karim merupakan putra ketiga dari KH. Busyrol Karim bin KH.Hamim. Kakak
kandung beliau adalah KH. Fakhruddin Mulyono dan KH. Majduddin.
Bagi kami masyarakat Bawang Kabupaten
Batang tentu sudah sangat familier dengan Pondok Buntet Pesantren. Dulu yang
pertama kali melakukan syi'ar keislaman di Bawang dan membuat sebuah
rekronstruksi sosial menjadikan masyarakat yang agamis, masyarakat santri
adalah ulama Buntet. Sekitar dekade 50-an, melalui undangan santri pertama
Buntet asal daerah kami KH. Maqsudi, para ulama Buntet melakukan dakwah
Islamiyah di kampung kami. Mulai dari KH.Mustahdi Abbas, KH. Mustamid Abbas,
KH.Hasyim, KH.Munawwar, KH. Muafi hingga KH.Busyrol Karim semuanya pernah
menetap dan berdakwah di kampung kami. Di rumah kakek saya sendiri, keluarga
KH.Busyrol Karim menetap dan berdakwah selama lebih kurang 5 tahunan. Dulu di desa
saya belum ada Madrasah Dinniyah, maka KH.Fakhruddin Mulyono putra tertua
KH.Busyrol Karim tersebutlah yang mendirikannya dengan nama Madrasah Dinniyah
Bustanul Khairat.
Para ulama Buntet juga
secara bergiliran memberikan pengajian untuk masyarakat sekecamatan Bawang. Santri-santri
Buntet juga "di impor" untuk sekedar mengajar membaca al-Qur'an di
masjid-masjid dan melantunkan tadarrus
al-Qur'an ketika bulan Ramadlan tiba. Terjalinlah ikatan batin yang hangat
dan sikap saling menghormati begitu harmonis antara ulama Buntet Pesantren
dengan masyarakat setempat. Dari sini, kecintaan dan kemauan masyarakat untuk
belajar agama di pesantren tumbuh dan mulailah masyarakat mengirimkan
putra-putrinya ke pondok-pondok pesantren dipulau Jawa. Kini di Kecamatan
Bawang sudah berdiri puluhan pesantren dan dihuni ratusan mungkin ribuan santri
dari berbagai daerah. Sebuah perjuangan dakwah dalam rangka transformasi sosial yang sukses. Gambaran
diatas membuktikan bahwa pesantren mampu melahirkan Social Engineer yang
handal.
Malam itu saya begadang di rumah Kang Imat,
panggilan akrab KH. Aris Ni'matullah, MAF. Rumahnya di ujung barat kampung
Buntet, tepatnya di daerah ledeng, sentra irigasi pertanian di Buntet namun
kini airnya sudah mengering. Kang Imat adalah seorang Kyai muda berbakat dan
mempunyai jiwa kepemimpinan tinggi. Sejak kuliah di Cairo University Mesir
beliau sudah kondang sebagai ketua paguyuban santri Jawa Barat di Mesir
disamping juga sebagai aktivis KMNU pada
masanya. Beliau menempati sebuah rumah baru dengan arsitektur Jawa kuno yang di
sebut "rumah gebyok". Sedang asyik
menikmati teh dan ngobrol ngalor-ngidul, tiba tiba seorang santri beliau
bernama Khotib menawarkan saya makan dengan menu yang sangat istimewa, " Mas
Zulfa, kersa dahar manuk puyuh mboten? (Mas
Zulfa mau makan daging burung puyuh tidak?). Saya tidak langsung menjawab tapi
justeru tambah heran. Jam 02.00 dini hari saya ditawari makan, walaupun pola
makan seperti ini menjadi sesuatu yang biasa kalo saya masih nyantri di Buntet.
Tapi setelah beberapa tahun di Jakarta mungkin jadwal
makan saya mulai sedikit teratur. Yang lebih membuat saya terkejut lagi adalah
menu yang di tawarkan yakni daging burung puyuh. Darimana dapatnya?!!.
Setelah saya lihat di dapur saya lebih
tercengang lagi. Dua orang santri dan satu orang asli Buntet bernama mas Baki
sedang membersihkan bulu-bulu burung puyuh dalam jumlah yang sangat banyak.
Saya tanya "berapa jumlahnya mas Khotib?". "Enam puluh dua ekor Mas" jawabnya.
"Hah!", angka yang fantastis untuk sebuah "perburuan malam". Kata Kang Imat
tadi mas Baki dan Mas Khotib yang mencari burung puyuh sampai ke sawah-sawah di
sekitar Gemulung, sebuah desa di sebelah selatan Buntet. Itulah hobi mas Khotib
selain memelihara kambing sang Kyai dan menanam pohon singkong. Dia adalah
seorang santri dari Cilacap Jawa Tengah yang sangat hormat terhadap sang guru.
Keluarganya turun temurun merupakan santri di Buntet Pesantren. Dia sekarang
hampir tiga tahun nyantri di Buntet dan belum pernah pulang ke kampung
halamannya. Bagi santri Buntet ada sebuah keyakinan. Barang siapa yang mondok
di Buntet selama tiga tahun dan tidak pernah pulang ke kampung halaman maka
insyaAllah akan "futuh" (terbukanya
pintu hati dalam menerima ilmu). Selanjutnya sang santri akan mendapatkan
berkah ilmu yang manfaat.
Bagi orang yang belum pernah ke Buntet
mungkin bingung jam 02.00 dini hari para Kyai dan santri sedang sibuk
mempersiapkan makan. Saya sendiri bingung kalo harus memberi nama apa makan dini hari seperti itu. Kecuali
untuk sahur bagi orang yang berpuasa. Padahal kami semua tidak hendak berpuasa.
Mungkin kalo orang bule menyebut breakfast
campur lunch menjadi brunch, nah ini dinner campur breakfast
jadi apa yah?. Kalau boleh saya buat nama baru mungkin lebih baik di sebut "dinfast", dinner campur breakfast, yah
kalau boleh saya sebut begitu, orang Buntet biasa menyantap "dinfast" dengan menu yang harus di
masak terlebih dahulu. Ini sedikit gambaran tentang Buntet. Sebuah perkampungan
kecil dimana medan waktu berhenti,
atau terkadang waktu berputar lebih dari 24 jam sehari. Datanglah ke Buntet,
maka anda akan merasakan "Waktu Yang Berhenti".
Jam 04.00 dini hari dari jauh terdengar
sayup-sayup Man Mursyid sudah mulai mengumandangkan ayat suci al-qur'an dari
corong speaker Masjid Jami Buntet dengan gaya tilawahnya yang
khas. Saya pun pamit kepada Kang Imat
kembali ke kediaman KH.Hasan Busyrol Karim yang berada tepat di depan Masjid untuk
berganti baju dan melaksanakan solat berjamaah di Masjid. Jalan kaki dari rumah
Kang Imat ke Masjid mungkin sekitar 500 meter atau 10 menit dengan berjalan
kaki. Di perjalanan saya melawati kediaman KH. Ahmad Manshur yang biasa disapa
dengan panggilan Kang Mamad. Rupanya beliau juga sudah siap menuju masjid,
karena memang Kyai yang satu ini yang senantiasa istiqomah solat berjamaah di
Masjid. Kang Mamad juga merupakan salah satu imam Masjid Buntet. Semasa sekolah
di Madrasah Aliyah NU Buntet saya belajar kepada beliau Ilmu Ushul Fiqih dengan
kitab sandingan Qowaid al-Fiqhiyah
dan Al-Asyabah Wan Nadho'ir. Kyai yang satu ini terkenal nyentrik dan sangat fanatik terhadap
tradisionalitasnya disamping beliau juga jawara-nya Bahtsul Masa'il Diniyah.
Saya ingat dulu saya ngaji khusus sendiri
ke beliau setiap malam pukul 23.30 malam hingga pukul 01.00 dini hari. Terkadang
saya juga membangunkan beliau jika beliau sudah tertidur terlebih dahulu sebelum
saya datang di kediaman. Di hadapan beliau saya di beri pengajian dengan
"sistem sorogan" yakni sebuah motode pengajaran dimana seorang santri
diwajibkan untuk membaca sendiri kitab klasik tanpa harakat beserta maknanya.
Selanjutnya sang Kyai menjelaskan pengertian yang di maksud oleh pengarang
kitab beserta contoh-contoh kasus yang terjadi dalam masyarakat secara aktual.
Selanjutnya sang Kyai membuka ruang untuk berdiskusi atau sekedar tanya jawab.
Saya sungguh sangat mengagumi metode ini, sebuah metode yang sangat
partisipatif layaknya pengajaran di kampus-kampus perguruan tinggi. Karena
mungkin sudah malam saya terkadang kelelahan terlelap sebentar dan bangun lagi ketika
Kang Mamad memberi penjelasan Kitab Fathul
Mu'in yang sebelumnya saya baca beserta artinya dulu.
Maklum juga, sejak pagi saya sudah mulai
aktifitas berat hingga malam hari. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah
saya selalu belanja di pasar Mertapada untuk makan siang santri lain dan
mengepel kediaman Kyai. Latar belakang keluarga saya yang kurang mampu sehingga
saya merupakan salah satu dari ratusan santri Buntet yang "mondok gratis".
Termasuk sekolah pun saya selalu mendapat subsidi dari pemerintah sehingga saya
merupakan siswa langganan bea siswa. Di pesantren, santri model saya ini di
sebut Khodam Kyai yang artinya
"pembantu Kyai". Tapi dengan menjadi pembantu Kyai saya merasa lebih dekat
kepada Kyai serta termotivasi untuk
senantiasa berbuat baik agar mendapat ridlo dan barokah dari Kyai. Tapi
malangnya terkadang para santri melampiaskan kelelahannya dengan tidur bukan
pada jamnya. Memang dasar pemalas!.Saking malasnya saya pernah di jewer oleh
KH. Salim Effendy dan disuruh untuk menghitung jumlah langkah kaki dari pondok
ke sekolah Madrasah Aliyah yang jaraknya cuma 50 meter, he.he.. sebuah
pengalaman yang memalukan.
Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Buntet
Pesantren Cirebon disingkat MANU BPC merupakan salah satu sekolah formal
setingkat SLTA yang ada di Buntet Pesantren. Pada saat itu kepala sekolah MANU
BPC adalah KH.Hasanuddin Kriyani seorang tokoh di Buntet Pesantren yang sudah
mempunyai jiwa kepemimpinan sejak muda. Beliau sekarang menjabat Rois Suriyah
PCNU Kabupaten Cirebon. KH.Hasanuddin Kriyani merupakan sosok yang sangat
tegas, disiplin serta visioner. Beliau merupakan sosok ideal untuk sekolah
formal di lingkungan pondok pesantren. Yang paling di ingat oleh para santri
siswa MANU adalah ketika beliau menyampaikan amanat Pembina Upacara pada setiap
upacara bendera hari Sabtu. Maklum di Buntet libur sekolah dan pengajian
semuanya hari Jum'at, jadi upacara Bendera diadakan tiap hari Sabtu. Suara
beliau yang lantang, bergetar dan
terkadang mengelegar. Nasihatnya begitu jelas dan selalu terngiang-ngiang di
kepala semua siswa. Sebagai Kepala Sekolah beliau sangat di segani oleh segenap
Dewan Guru, bahkan banyak sekali guru dari luar yang ikut mengajar di MANU BPC
juga merasa menjadi santri beliau dan berharap adanya barokah dari ilmu beliau.
Kini beliau menjadi salah satu Kyai sepuh di Cirebon yang banyak
dimintai masukan dan pendapat dari berbagai lapisan masyarakat.
Selain ngaji kepada KH.Ahmad Manshur, saya
tentu ngaji di Asrama C Al-Firdaus. Saya ingat saya belajar kepada Ustadz Qomarul Huda mulai dari Ta'limu Muta'allim (kitab induk berisi
etika dan metodologi belajar), Safinatun Najah kitab fiqih dasar di
pesantren, Innarotud Duja sebuah
kitab penjelasan dari kitab Safinatun Najah
dalam bentuk nadzam (syair) yang di
beri penjelasan dalam paparan deskriftif (nasyar).
Selain kedua kitab tersebut saya juga mengaji kitab nahwu-shorof (Arabic Grammar) Jurumiyah,
Nadzam Amrithi, Amtsilatut
Tasrifiyah,Nadzam Maqsud. Beberapa kitab fiqih seperti Minhajul Qowwim, Nihayatuz Zain, Bajuri dan lainnya yang tidak
saya ingat lagi. Kang Omang panggilan
guru saya ini unik, beliau selalu mewajibkan para santri yang mengaji untuk
membuat daftar pertanyaan yang berkaitan dengan tema yang sedang dikaji. Santri
tidak dapat bertanya malah di beri sangsi untuk menghafal beberapa pelajaran
yang akan datang. Satu hal yang saya ingat, Kang Omang merupakan ustadz yang
paling serius, mendalam, teliti dan tuntas kalau mengaji fiqih haidz
(menstruasi). Saya tidak tahu juga kenapa Kang Omang sangat bersemangat kalau
sedang mengajar fiqih haidz?!. Mungkin kalau ada gelar Doktor di bidang haidz,
Kang Omang merupakan salah satu kandidatnya.
Di Asrama C al-Firdaus pula saya sempat
belajar dengan Ustadz Fathuddin yang spesialis ilmu Shorof (salah satu cabang
Arabic Grammar ), kepada Ustadz Abdurahman putra KH. Muqoyyim Bakri yang semasa
hayatnya menjadi Imam Besar di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon. Ustadz Abdurahman
yang pernah nyantri di Kaliwungu ini mengajarkan Kitab Fiqih Riyadul Badi'ah dengan sangat tenang dan
gamblang. Yang paling mengesankan bagi saya adalah pengalaman mengaji Alfiyah Ibnu Malik sebuah kitab
referensi utama ilmu nahwu yang kebetulan di ajarkan oleh ustadz Subhi Muta'ad
Ilyas. Kang Ukhi panggilan akrab beliau merupakan adik kandung KH. Thobroni
Muta'ad Ilyas guru fiqih saya di Madrasah Aliyah dimana Kitab Kifayatul Akhyar merupakan referensi wajib bagi para siswa. KH.
Thobroni juga merupakan guru Nahwu yang sangat dicintai oleh para santri bahkan
juga putra-putri Kyai Buntet Pesantren sendiri. Beliau telah membuat sebuah
Kitab Kompilasi (diktat) di bidang
ilmu nahwu sendiri secara singkat dan praktis. Hebatnya diktat tersebut bisa
dipelajari oleh semua tingkatan baik mulai kelas basic, elementary maupun advance.
Ustadz Subhi Muta'ad merupakan jebolan
Pesantren Sarang Rembang yang sejak
kecil belajarnya via jalur madrasah. Sehingga jika waktunya Kang Ukhi
menerangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia maka akan sangat tidak enak di
dengar di telinga. Gaya bahasa melayunya
sering tidak tertata rapi, lucu dan aneh. Bagi kami para santri di Asrama C
al-Firdaus saat itu selalu usul agar di terangkan menggunakan bahasa Jawa saja
atau menggurakan bahasa Arab Fushah (konvensional)
sekalian. Tapi yang kami salut adalah tingkat pemahaman beliau terhadap materi
yang disampaikan dan jawaban setiap pertanyaan santri yang selalu jelas dan
lengkap. Beliau merupakan guru ngaji kami yang tidak pernah absen dalam
mengajar. Bahkan, dalam cuaca hujan pun
beliau selalu datang mengajar dengan berjalan kaki dan membawa payung sementara
kitab beliau masukkan kedalam baju beliau. Sebuah sikap yang sangat bersahaja,
ikhlas dan sangat mengagumkan bagi kami santri yang bisa belajar pada beliau.
Jika ingat beliau saya bukan hanya kagum tapi juga sering menitikkan air mata
mengingat mutiara keikhlasan di akhir jaman ini. Kang Ukhi jugalah yang
senantiasa memberi nasihat bahwa para santri jika ingin ilmunya bermanfaat
harus keluar (bahasa santrinya; boyong)
dari Buntet harus dalam keadaan paling diridlai. Karena di situlah berkah dan
doa para guru akan senantiasa mengalir. Beruntung saya mempunyai guru seperti
beliau.
Bagi saya pribadi, Kyai Buntet yang paling berpengaruh
dalam membentuk pribadi saya adalah KH. Fakhruddin Mulyono dan KH. Hasanuddin
Busyrol Karim. Kakak beradik yang juga mempunyai isteri kakak beradik tersebut
bukan hanya guru bagi penulis tapi juga sudah merupakan orangtua sendiri.
Bimbingan, nasihat, suri tauladan dan ilmu yang tidak ternilai selalu di
ajarkan oleh keduanya. KH. Fakhruddin Mulyono kalau boleh saya gambarkan disini
beliau adalah seorang Kyai dan juga seorang ahli Hikmah (supranatural). Sejak pertama penulis masuk Pondok Buntet
Pesantren tahun 1997 penulis senantiasa melihat beliau istiqamah menjadi aurad lailiyahnya di Masjid Jami Buntet
Pesantren. Mulai pukul 12.30 malam hingga subuh tiba beliau tidak pernah
bergeser dari tempat duduk beliau di depan jam dinding masjid bertuliskan "M
Nitisemino" sambil terus memutarkan butiran tasbihnya. Setelah mengimami solat
subuh beliau selalu berkumpul di kediamannya dengan orang-orang tua Buntet yang
juga istiqamah solat subuh berjamaah
di masjid. Hal tersebut dijalankan beliau hingga bertahun-tahun hingga akhir
hayat beliau.
Saya merupakan saksi hidup atas karomah
yang beliau miliki. Mulai dari orang yang sakit medis, psikis, orang yang
kesusahan terkena pailit, hingga yang mau maju Pilkada banyak sekali yang
datang ke beliau. Pernah suatu ketika seorang Kyai dari Pandeglang Banten
datang dan memohon agar dibantu permasalahannya. Ternyata sang Kyai dari
Pandeglang tersebut mempunyai khodam jin muslim laki-laki dan sudah lebih dari
satu minggu mengamuk terus karena minta di nikahkan dengan jin muslimah.
Akhirnya KH. Fakhruddin menyanggupi untuk segera menyiapkan upacara pernikahan
di alam jin tersebut. Bisa di bayangkan seperti apa resepsinya yah, pastinya
sangat meriah lah. Seingat saya ini kejadian tahun 2000 semasa saya senantiasa mendampingi beliau. Banyak lagi
hal-hal mistis, ghaib dan daya linuwih beliau yang tidak bisa diceritakan satu
persatu disini.
Sementara KH.Hasanuddin Busyrol Karim
adalah seorang pribadi yang sangat bersahaja. Beliau senantiasa mengajaran
Kitab Jawahirul Kalamiyah sebuah
kitab di bidang tauhid (teologi)
dan Taisirul
Kholaq sebuah kitab berisi tata kerama dan etika dalam kehidupan
sehari-hari. KH.Hasunuddin Busyrol Karim adalah pribadi yang lebih banyak
merenung dan berusaha, bicaranya sangat sedikit hanya seperlunya. Tapi wawasan
beliau yang luas membuat beliau banyak bergaul dengan berbagai kalangan.
Kepemimpinan beliau dalam Koperasi Pondok Buntet Pesantren juga memposisikan
beliau banya bergaul dengan kalangan dunia usaha. Sifat wela asihnya kepada
santri membuat setiap nasihatnya pasti akan senantiasa diingat dan dicamkan
dalam hati. Gaya bicaranya dalam,
metaforis, jarang sekali terlihat marah dan senantiasa melakukan zikir malam di
kediaman beliau. Banyak beberapa pengusaha non muslim yang beguru ataupun
berkawan dengan beliau yang akhirnya membaca syahadat, mengesakan Allah Ta'ala
dan mengakui Muhammad SAW adalah utusannya.
Kedua ulama inilah yang selalu menggembleng
saya untuk terus mutholaah (belajar)
dan memelihara himmah (cita) setinggi
mungkin. KH. Fakhruddin paling sering memerintahkan saya puasa untuk melatih
mental spiritual. Mulai dari puasa "ngasrep" atau orang pesantren menyebutnya
puasa tarak. Di sebut tarak (tarku ma lahu ruh) karena dalam
puasa tersebut kita tidak di perkenankan memakan segala sesuatu yang bernyawa.
Kadang juga saya diharuskan melakukan puasa mutih yang hanya boleh berbuka dan
sahur dengan meminum air putih dan makan nasi putih. Yang tersulit adalah puasa
"undur-undur", sebuah ritual puasa dimana dalam hitungan mundur selama satu
pekan saya hanya boleh makan nasi putih dan air putih ketika adzan magrib di
kumandangkan. Di sebut "ngundur-undur" karena hitungan nasi yang dimakan
dihitung menyusut kebelakang selama satu pekan. Di hari pertama puasa saya di
perkenankan memakan tujuh kepalan tangan dan air putuh, besoknya lagi hanya di
perboleh 6 kepal nasi, hari ketiga puasa menyusut menjadi 5,4,3,2,1 dan
akhirnya hanya segelas air putih yang boleh saya minum. Itupun hanya dikala
buka puasa karena puasa model ini tidak di perkenankan menyantap sahur.
Adapula ritual puasa "ngebleng". Taraf
kesulitan puasa ini masih jauh dibawah puasa "ngundur-undur" karena hanya tidak
diperkenankan makan sahur tetapi ketika berbuka kita bisa menyantap makanan apa
saja. Asal jelas kehalalannya. Setelah berbuka waktu magrib tiba, kita
diwajibkan berniat puasa lagi hingga waktu magrib hari esok datang lagi. Yang
tak kalah repotnya adalah ritual "mati geni". Ritual ini dilakukan selama 24
jam mulai terbit fajar hingga terbit fajar lagi dihari kedua. Selama ritual
kita tidak boleh makan dan tidur walaupun hanya sekejap mata. Kita hanya
diwajibkan membatalkan puasa ketika magrib tiba dengan hanya meminum segelas
air putih dan selanjutnya berpuasa lagi.
Pernah juga saya di perintahkan Kyai untuk
berziarah ke Maqbaroh (kuburan) para
ulama Buntet setiap tengah malam dan tidak boleh di temani satu orang pun.
Tentu ke kuburan bukan untuk uji nyali atau meminta pada orang yang sudah
meninggal, tapi untuk menambah taraf keimanan saya. Pesan Kyai, "kamu berziarah
malam hari ke kuburan yang sunyi dan hanya sendirian bukan untuk apa-apa.
Tetapi agar kamu dapat mengimani satu hal. Yaitu bahwasanya tidak ada satu
makhluk pun yang dapat melukai, menciderai dan membinasakan diri kita kecuali
Allah. Begitu juga sebaliknya agar kamu bertambah iman bahwa tidak ada satu
makhluk pun yang mampu member manfaat pada diri kita tanpa izin Allah SWT". Jika
bukan karena spirit sebagaimana yang disampaikan Kyai tentu kita akan ketakutan
ketika hal-hal gaib terlintas di depan kita. Dengan mata telanjang dan keadaan
sadar pulu. Kalau saya ingat-ingat seram juga yah. Pesan Kyai tersebut sampai
sekarang masih selalu terekam jelas dalam ingatan saya. Yah..semua itu dulu
ketika saya masih di pesantren, sekarang setelah tinggal di Jakarta, jangankan puasa
mutih untuk diet mengurangi makan pun terasa susah.
Dari tahun 1997 sampai tahun 2004 penulis
nyantri di Pondok Buntet Pesantren, begitu banyak merasakan kehangatan dan
kemilau ilmu yang senantiasa bersinar. Sinar yang bukan hanya mampu menerangi
kegelapan hati tapi bahkan mampu merubah kegelapan sosial. Salah satu cahaya
ilmu tersebut terlihat dari seorang Ulama Besar, Rais Syuriah PBNU, Ketua
Ittihadul Muballighin, Professor di Bidang Tafsir, Mahaguru Nan Digdaya bagi BANSER
NU. Beliau adalah KH.Muhammad Anisul Fu'ad Hasyim. Seorang orator ulung, singa
podium yang memulai dakwahnya dari panggung ke panggung mulai usia yang sangat
belia yakni 18 tahun hingga akhir hayatnya di usia 63 tahun. Sebuah dedikasi
besar, life time dedication. Mutiara Akhir Zaman dengan daya ingat diatas
rata-rata dan kecintaan belajarnya yang "ottodidak internasional". Ulama yang
juga santri kembara ini sejak remaja sudah terlihat daya linuwihnya, orang
pesantren bilang ilmu ladunni. Beliau
dilahirkan hari senin wafat juga hari senin dalam usia 63 tahun, sungguh
metamorfosa kehidupan Rasulullah SAW di dunia.
Allamatus
Syeikh Fuad Hasyim menghabiskan ilmunya untuk menebarkan dahwah islamiyah dan
ilmu agama bukan hanya bagi masyarakat sekitar tapi juga skala nasional bahkan
internasional. Di tingkat regional beliau sangat dekat dan senantiasa menjalin
komunikasi dengan ulama-ulama di Malaysia, Thailand, Philipina, Kamboja, India terlebih ulama di
Timur Tengah sana. Hal ini di pernah
ungkapkan kepada saya langsung, bahkan beliau bukan hanya hafal nama dan alamat
ulama tersebut di negara masing-masing, tapi berapa kilometer jarak dari air
port?, menggunakan kendaraan apa untuk dapat sampai ke tujuan?, hingga tradisi
tahunan yang di laksanakan oleh ulama tersebut beliau hafal diluar kepala. Apalagi
jika berbicara tentang sejarah Nabi dan para sahabat beliau adalah gudang
ilmunya. Daya ingat yang tiada bandingannya tersebut merupakan salah satu
karomahnya. Jangan salah Kyai Fuad Hasyim juga mampu berkomunikasi aktif dengan
puluhan bahasa manusia di dunia ini. Berhadapan dengan beliau bagaikan melihat
matahari yang sangat besar, sungguh terang benderang, terkadang berubah menjadi
laut yang memiliki palung sangat dalam yang tidak mungkin diselami oleh manusia
manapun.
Di tengah keadaan beliau yang sedang sakit
dan di bantu satu tongkat penyangga kaki beliau masih terus berdahwah sampai ke
pelosok negeri bahkan ke daerah pegunungan seperti kampung saya. Mang Royan
supir pribadi beliau sering bercerita pada saya bahwa sang Kyai seringkali
tidur di masjid untuk menunggu jadwal pengajian di pagi hari di kota yang sama atau
didaerah yang berdekatan dengan pengajian sebelumnya. Bahkan terkadang melewati
daerah yang jauh dari perkampungan sehingga ketika sang Kyai Besar tersebut
hendak buang air harus turun ke kali dibantu Mang Royan yang menyiapkan air
untuk bersucinya dengan ember yang selalu ada di mobil. Sungguh pengorbanan dan
perjuangan yang tidak ternilai oleh Ulama Besar sekaliber KH.Fuad Hasyim. Ini
semua tentu hanya demi li i'lai kalimatillah
(menunggikan asma Allah).
Tapi inilah mungkin tugas yang diamanatkan
Tuhan kepada sang Kyai pencipta Syair Nahdlatul Ulama tersebut. Kamar tidur beliau
hanya di hiasi oleh lampu baca dan tumpukan kitab yang entah berapa ratus judul
jumlahnya. Walaupun beliau senantiasa menggunakan Mobil Mercy tetapi jika
melihat ke kamar beliau sangat memprihatinkan, hanya sajadahnya saja yang
senantiasa bersih, sementara beliau tidur diatas tempat tidur yang sangat tidak
layak. Inilah filosofi hidup Kyai Fuad bahwa kesederhanaan di ruang privat
tersebutlah yang akan senantiasa mengingatkan beliau pada Tuhannya, Allah azza
wa jalla. Dalam setiap kesempatan Habib Lulthfy Bin Yahya senantiasa
menyampaikan bahwa KH.Fu'ad Hasyim merupakan kawan seperjuangan beliau,
senafas, seirama.
Kini , alhamdulillah
putra-putri beliau dapat meneruskan perjuangan beliau, KH. Luthfy El-Hakim, MA, KH. Abbas Billy
Yachsy,MA dan KH. Faris al-Haq sekarang juga telah menjadi mubalig kondang yang
senantiasa padat jadwal ceramahnya. KH. Luthfy el-Hakim juga meneruskan
perjuangan ayahandanya dalam mendidik santri dengan menjadi pengasuh di Asrama
L Pesantren Nadwatul Ummah. Sementara KH. Abbas Billy Yachsy,MA merupakan Kyai
muda yang sangat cerdas dan tekun. Sekarang Kang Babas panggilan akrabnya
beliau sedang menyelesaikan tahap akhir penulisan Disertasi Doktoralnya di UIN Jakarta.
Mutiara lain yang senantiasa bersinar di
Buntet adalah KH.Abdullah Abbas, ulama tiga zaman ini merupakan "jimat" bagi
masyarakat Buntet dan Paku Bumi bagi Masyarakat Jawa Barat. Beliau adalah "Jimat"
karena kemurahan hati dan keterjagaan
beliau dari perilaku yang kurang baik. Ada juga istilah yang
senantiasa di sampaikan KH. Kholil Bisri ataupun adik beliau KH. Mustofa Bisri
pada awal tahun 2000-an. Bahwa paku bumi tanah Jawa adalah Triple A; Abdullah
Faqih di Jawa Timur, Abdullah Salam di Jawa Tengah dan Abdullah Abbas di Jawa
Barat. Berbagai penghargaan dari berbagai kalangan baik dari masyarakat hingga negara
telah beliau terima. Pengabdian sepanjang masanya juga telah memposisikannya
dalam berbagai macam jabatan puncak pada organisasi sosial keagamaan seperti di
PWNU, PBNU hingga Idarah ‘Aliyah Jam'iyah
Ahlu Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Namun kesederhanaan Mbah
Dullah demikian panggilan hormat masyarakat sekitar tidak berubah. Sosok ulama yang
sangat tawadlu dan sederhana. Keikhlasan merupakan filosofi hidup yang selalu
beliau pegang teguh. Diam, sabar dan ikhtiar merupakan garis juang Mbah Dullah.
Sebagai sesepuh pesantren dan sesepuh masyarakat Jawa Barat, Mbah Dullah tidak
pernah sepi dari tamu di kediamannya. Mulai dari para santri, murid tarekat, hingga
para umaro silih berganti mendatangi beliau. Tokoh sentral dalam suksesi
kepemimpinan KH.Abdurahman Wahid ke Istana Negara ini, pada pemilu 2004 juga
dijadikan rujukan oleh hampir semua kandidat Capres dan Cawapres Republik
Indonesia.
Tentu hal ini ada yang melatarbelakanginya,
sehingga Mbah Dullah begitu dimuliakan masyarakat. Mantan laskar Hisbullah ini selain
merupakan pembesar tarekat Syathoriyah dan
sesepuh pesantren Jawa Barat, beliau juga seorang mantan pejuang Negara
yang banyak makan asam garam perpolitikan nasional. Mulai zaman revolusi fisik,
peristiwa pemberontakan DI TII hingga peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965
beliau selalu menjadi pelaku sejarah. Banyak sekali sejarah kelam bangsa yang
terekam apik dalam ingatan beliau. Ketika beliau bercerita sejarah republik
ini, walau diusia yang sudah udzur, masih sangat runut dan detail. Pada
momentum tertentu pernyataan dan sikap Mbah Dullah sangat di tunggu-tunggu oleh
masyarakat Jawa Barat. Hingga akhir hayat kediaman Mbah Dullah tidak henti-hentinya
menjadi tempat Halaqah Ulama
menyikapi persoalan bangsa, baik mulai level Jawa Barat maupun level nasional.
Mbah Dullah telah purna bakti dalam mendedikasikan hidupnya untuk Buntet, NU
dan Bangsa.
Ulama sepuh lainnya di Buntet Pesantren
adalah KH. Abdul Hamid Anas dan KH.Abdullah Syifa Akyas. Kyai Hamid merupakan
putra KH.Anas Abdul Jamil. Seorang Kyai tasawuf yang juga sangat sedikit
berbicara. Sehingga tiap ucapan yang keluar dari Kyai Hamid senantiasa bagaikan
mutiara. Beliau merupakan tempat bertanya bagi masyarakat Buntet sendiri.
Beliaulah pemangku kehidupan beragama di Buntet. Pada masa hayatnya KH.Abdullah
Abbas, KH.Fuad Hasyim, dan KH. Abdul Hamid Anas merupakan Tri Tunggal yang
sangat ideal mengelola dan mengarahkan Buntet Pesantren. Walaupun tidak pernah
terekspos Kyai Hamid adalah salah seorang pejuang 65. Inisiator pergolakan
santri Jawa Tengah menumpah pemberontak PKI.
Sebulan sebelum kejadian Gerakan 30
September PKI, tepatnya tanggal 17 Agustus 1965 pemerintah Kabupaten Demak mengadakan
pagelaran kesenian rakyat dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat termasuk
Pesantren. Pada waktu itu KH.Abdul Hamid Anas masih menjadi lurah pondok di
Pesantren Mranggen Demak Jawa Tengah di bawah asuhan Mbah Muslih. Untuk
berpartisipasi dalam pagelaran tersebut, Mbah Muslih merintahkan Kyai Hamid
muda untuk mengadakan pertunjukan debus. Kyai Hamid muda pun menyanggupi,
padahal sebelumnya beliau telah mempersiapkan pertunjukan drama teateretikal
yang dilatih oleh kader-kader Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Islam) NU Jawa
Tengah. Mulailah sang Lurah Pondok
tersebut mengumpulkan kawan-kawannya dari Cirebon untuk dilatih debus.
Pertunjukan pun di mulai, adegan demi adegan pun di pertontonkan. Kyai Hamid
memimpin perhelatan dengan menampilkan aksi kebal bacok, menggunakan kalung
petasan yang sebelumnya telah di nyalakan sumbunya, minum air tiga ember,
hingga menghilang dari kerumunan masa. Jawara-jawara kecil ini pun mulai
mendapat tepuk tangan meriah dari semua pengunjung yang menyaksikan.
Pada saat bersamaan ternyata antek-antek PKI
sedang mempersiapkan Kudeta dengan menculik para Jenderal dan Tokoh Kunci
Masyarakat. Tanggal 30 September, pemberontakan PKI pun terjadi di susul
benturan sosial (social clash)
dimana-mana. Negara dinyatakan dalam keadaan darurat dan tragedi kemanusiaan
tersebut telah merengut banyak korban. Tidak hanya kalangan militer yang di
incar tetapi juga para tokoh NU. Hingga akhirnya Kyai Hamid muda mendapat surat dari Cirebon yang isinya
menyatakan bahwa di berbagai daerah telah serempak menyerukan penumpasan PKI. Peristiwa
kelam anak bangsa yang hingga saat ini belum terjawab siapa sebenarnya yang
menjadi dalang semuanya.
Kyai Hamid muda segera bertindak dengan
meminta arahan dari ketua PWNU Jawa Tengah saat itu KH.Abdul Hadi yang juga
dari Mranggen. Selanjutnya kontak konsolidasi pesantren Jawa Tengah yang
meliputi Mranggen Demak, Rembang, Kaliwungu Kendal dan Mangkang di komandoi
oleh Kyai hamid muda. Operasi penumpasan pun sukses walau akhirnya ada dua
orang santri dari Kaliwungu Kendal yang hilang tanpa jelas rimbanya. Para tokoh PKI di
tangkap oleh para santri bersama Banser dan Ansor NU selanjutnya diserahkan ke
kantor Koramil atau Kantor Polisi setempat. Peristiwa ini pulalah yang akhirnya
membuat tersohor tentang kesaktian Kyai Hamid dan kawan-kawannya dari Cirebon yang dikenal
dengan "Santri-santri Jawara dari Cirebon". Sejak saat itu
semua santri Cirebon jadi santri kelas
VIP di Mranggen. Di jalan di pasar, ataupun di pesantren mereka sangat di
segani. Bahkan petugas pos pun rela mengantarkan secara ekspres kiriman surat ataupun wesel dari Cirebon langsung ke
bilik-bilik santri. Mungkin karena takut kena jurus silat santri-santri Cirebon!
Berbeda dengan Kyai Hamid, Kyai Syifa
(panggilan singkat KH. Abdullah Syifa Akyas) adalah seorang hamilul qur'an (orang yang senantiasa
menjadikan Al-Qur'an sebagai way of life-nya).
Selain beliau adalah seorang Hafidz Qur'an beliau senantiasa mewiridkan
al-Qur'an. Bukan hanya bagi masyarakat Buntet tapi beliau juga menjadi rujukan
masyarakat sekitar. Di setiap hari Kamis di kediaman Kyai Syifa senantiasa
diadakan pengajian rutin untuk masyarakat umum. Pengajian rutin untuk
masyarakat sekitar terbut sudah dijalankan oleh ayahandanya, KH. Akyas Abdul
Jamil. Saat ini Kyai Syifa juga menjadi salah satu Khalifah Tarekat Tijaniyah
yang masyhur. Semasa hayatnya Kyai Buntet lainnya yang memangku gelar Khalifah
Tarekat Tijaniyah adalah KH. Junaidi Anas kakak kandung KH. Abdul Hamid Anas
yang juga sesepuh pesantren Sidamulya Cirebon dan juga KH. Fahim
Chawi.
Kang Aying panggilan akrab KH. Fahim Chawi
semasa hayatnya juga menjabat sebagai Katib Syuriah PWNU Jawa Barat dimana
KH.Abdullah Abbas sebagai Rois Syuriahnya. Biasanya setiap solat Jum'at di
masjid Buntet senantiasa digelar wirid berjamaah tarekat Tijaniyah oleh para
pengikut tarekat yang di pimpin Kyai Syifa. Di kediaman beliau juga sering di
gelar pembacaan Manaqib Syeikh Ahmad
At-Tijani bersama para murid tarekatnya. Saya sendiri pernah mengaji Kitab Tafsir Surat Yasin kepada Kyai Syifa. Dalam
setiap kesempatan pengajian Kyai Syifa senantiasa menyampaikan isi kitab Kasykul (penulis sendiri tidak pernah
melihat kitab tersebut) yang isinya mengenai anekdot sufi. Memang, hampir semua
ulama Buntet mempunyai selera humor tinggi baik yang tua maupun yang muda.
Begitu hangat dan indahnya hidup bersama
para ulama, dengan kehidupan yang begitu bersahaja. Buntet memang surga bagi
para pencari ilmu. Setiap malam para santri senantiasa bergulat dengan
pelajaran dirasah diniyyah
(pendidikan agama) hinggu pukul 23.00 malam, setelah itu mulai asyik
bercengkerama sambil menikmati segelas kopi ataupun minuman khas Buntet, teh
upet panas di seduh bersamaan dengan gula batu yang manis. Orang Buntet
menyebutnya Teh Tubruk. Biasanya para santri karena diminum rame-rame dan
peralatan minum yang tidak lengkap, mereka menggunakan gayung yang biasa untuk
mandi sebagai gelas dan jika tidak ada sendok untuk mengaduk gula batu mereka
sering menggunakan ujung sikat gigi sebagai penggantinya. Ya..Tidak ada rotan
akarpun jadi, tidak ada sendok sikat
gigi pun jadi. Yang penting puas sambil ketawa-ketiwi atau sambil main tebak
tebakan kalo tidak saling pijit badan bergantian. Kadang juga walau jam di
dinding sudah menunjukkan jam 01.00 dini hari tapi masih terdengar suara air
bergemuruh di kamar mandi, itu biasanya santri sedang mencuci baju mereka.
Memang kehidupan pesantren mempunyai pola
hubungan, jadwal kegiatan, karakteristik dan siklus hidup tersendiri. Maka
pantas jika kehidupan pesantren disebut Sub-Kultur Sosial tersendiri seperti
sering di ungkapkan Gus Dur. Namun terus terang saya sering keki sendiri kalo
ingat masa nyantri dulu. Ada beberapa sifat
buruk yang susah sekali di tinggalkan para santri. Yaitu kebiasaan tidur hingga
lupa waktu dan pola hidup kotor karena malas bersih-bersih. Padahal di depan
pintu masuk pondok terpampang jelas slogan "Annadhofatu
Minal Iman ;kebersihan sebagian dari iman". Siapa yang salah kalo sudah
begini yah?!, saya jadi ingat pesan KH.Nahduddin Royandi Abbas, sesepuh baru
kami di Pondok Buntet Pesantren menggantikan kakak beliau KH.Abdullah Abbas
yang baru saja berpulang kerahmatullah. Kata Mbah Dien (sapaan hormat
KH.Nahduddin) "di pesantren itu al-qur'an dibaca tiap hari, hadits ting blegedek (hadits banyak sekali di
nukil), kyainya alim-alim, tapi suruh hidup bersih saja tidak bisa". Itulah
sindiran khas gaya Mbah Dien.
Mbah Dien merupakan sesepuh kami yang baru
dan mungkin merupakan sesepuh paling eksentrik. Dalam setiap kesempatan beliau
tidak pernah mengenakan baju kebesaran khas para Kyai. Tetapi beliau selalu
konsisten memakai baju kemeja lengan pendek, peci hitam dan sarungan saja.
Beberapa Kyai Buntet sampai membelikan baju koko (busana muslim) ataupun batik
berharap Mbah Dien merubah penampilannya, tetapi nampaknya usaha para Kyai
Buntet tersebut belum berhasil. Karena Mbah Dien tetap konsisten dengan
costumnya. Maklum saja walau di usianya sudah kepala tujuh tapi Mbah Dien ini
bukan sembarangan Kyai. Beliau merupakan santri kelana dan "Ulama
Trans-Nasional" yang sejak muda hidupnya dihabiskan diluar negeri. Awalnya
beliau menetap di Saudi Arabia sebagai staf
kedutaan di sana. Selanjutnya Mbah
Dien menetap di London Inggris bersama keluarganya dan saudaranya yang bernama
KH. Ghozi Mujahid adik kandung KH.Imamuddin Mujahid perintis KBIH Buntet
Pesantren.
Sejak awal berdirinya hingga sekarang
organisasi NU Cabang Khusus London telah menetapkan Mbah Dien sebagai
Musytasyarnya. Beliau merupakan figur yang sangat demokratis, lurus dan paling
sering melancarkan auto kritik. Saya kira hal terakhir ini yang paling penting
untuk di alamatkan ke pesantren. Pola hubungan adi luhung (ningrat) membuat
pesantren sering dianggap feodal sehingga kritik merupakan hal yang kadang
tabu. Jarak sosial antara Kyai dengan masyarakat biasa kadang terlalu menganga.
Tapi hal itu tentu tergantung bagaimana peranan tokoh sentral di pesantren
tersebut. Karena paternalisme di pesantren sangat kental, semua digerakkan oleh
kharisma tokoh.
Mbah Dien misalnya senantiasa berpesan
kepada segenap pengasuh pondk di Buntet bahwa modal membina umat hanyalah dua
hal jujur dan ikhlas. Selanjutnya beliau menambahkan jika kita sendiri tidak
bisa melakukan dua hal tersebut, maka jangan salahkan kalangan luar menganggap
pesantren secara miring. Pada suatu kesempatan Mbah Dien memberikan pengarahan
kepada pengurus Forum Silaturahmi Pondok Buntet Pesantren di Jakarta. Beliau
menekankan dalam membangun sebuah organisasi yang kokoh di perlukan semangat membaja
dan pantang menyerah. Tidak harus dilakukan oleh organisasi besar dan massal, dalam
setiap kebijakan organisasi yang terpenting adalah memulainya bukan hanya
mendiskusikannya, karena tanpa di mulai tidak mungkin semua program akan
teralisasi.
Sekali lagi, saya begitu merasa bangga
dengan almamater saya. Rasanya semua kekeringan ilmu tersirami dengan deras di
Buntet Pesantren. Walaupun kata senior saya di Buntet, saya tidak mengalami
masa keemasan Buntet dimana para ulama masih lengkap. Tentu, saya hidup di masa
sekarang, bukan di jaman dahulu yang lampau. Tapi saya terkadang membayangkan
bagaimana rasanya jika saya mengalami masanya KH. Mustahdi Abbas dimana para
santri sering melihat kerumunan jin yang juga bersama-sama para santri mengaji
kepada sang Kyai. Tasbih dan kitab kadang terlihat berjalan sendiri. Terlintas
juga KH. Chawi yang senantiasa menangis ketika mengucap dan mendengar asma
Allah. KH. Zen yang mempunyai beberapa putra dan cucu yang semuanya alim. Ada yang menjadi
anggota DPR RI yakni KH.Nu'man
Zen bahkan ada yang menjadi Qori Internasional KH. Fuad Zen.. KH. Imam yang
ahli dalam bidang falak (astronomi) Buntet Pesantren. Pencipta perhitungan
waktu solat seumur hidup ini bahkan mampu menghitung kapan daun akan jatuh dari
pohon, atau bunga kapan akan mekar dan layu. Ada juga KH. Arsyad
yang mempunyai banyak santri dan alim-alim, KH. Hasyim seorang ulama pejuang
yang sangat jujur dan senantiasa memakmurkan masjid dengan al-Qur'an.
KH. Mustamid Abbas salah seorang sesepuh
Buntet Pesantren yang pernah menjabat sebagai anggota MPR RI utusan Nahdlatul
Ulama'. Beliau seorang tokoh yang mempunyai hubungan luas dengan para petinggi
negara. Kyai Mustamid pulalah yang menjadi salah satu pelopor pesantren
sehingga menerima Pancasila sebagai azas ideologis bangsa. Saya pernah mendapat
ceritera dari salah seorang staf pimpinan DPR RI yang hingga saat
ini masih bertugas. Namanya Saefuddin staf khusus Bapak Agung Laksono Ketua DPR
RI. Beliau asli Jawa Timur, setiap kali berangkat ke Jakarta dari kampung
halamannya beliau selalu mampir ke Buntet. Walaupun belah pernah mondok, beliau
sudah merasa sebagai santri Buntet. Katanya dahulu Kyai Mustamid ketika
bersidang selalu menggunakan sarung dan peci, Kyai Mustamid menjadi seorang
yang sangat di segani di senayan karena kharisma dan wibawanya yang tinggi. Bahkan
banyak kolega beliau yang mengangkatnya sebagai guru dan orang tuanya. Hingga
ada kolega beliau di MPR RI waktu itu yang
berwasiat agar dapat di kuburkan di Buntet Pesantren.
Saya juga sering mendapat cerita dari para
senior saya di pesantren tentang kealiman tiga bersaudara; KH. Izzudin, KH.
Nasirudin dan KH. Anwaruddin. Ketiganya merupakan putra KH. Ahmad Zahid seorang
ulama besar Buntet Pesantren yang sangat zuhud dan istiqomah. Beliau adalah
legenda hidup pada zamannya. Dulu katanya pengajian begitu ramai, kitab-kitab
besar berjilid-jilid selalu dikaji dalam waktu yang cukup singkat. Santri
begitu termotivasi untuk belajar dan bersemangat dalam setiap muhadharah (pentas keilmuan) santri. Para putra kyai
semuanya juga mengikuti pengajian di tempat KH. Izzudin dan KH. Nashirudin.
Sementara KH. Anwaruddin menjadi pimpinan tertinggi "Angkatan Darat" Buntet
Pesantren. Beliau tidak segan-segan memberi sangsi atas semua kesalahan fatal
yang dilakukan santri. Di sisi lain beliau merupakan benteng bagi semua orang
dan kepentingan yang ingin merusak harmoni kehidupan pesantren.
Lebih-lebih, saya tidak terbayang bagaimana
jika saya merasakan masa awal-awal keberadaan Buntet Pesantren dimana KH. Abdul
Jamil bersama putra putrid beliau masih berkumpul. Mulai dari KH. Abbas putera
tertua yang merupakan tokoh sentral dan paling legendaris dari Buntet. Sejuta
ceritera dan testimonial para santri atau pengikut beliau telah banyak di tulis
dan di bukukan. Kajian kesejarahan dan perjuangan jaman revolusi fisik juga
tidak kurang dalam mengetengahkan ketokohan beliau. KH. Akyas adik kandung Kyai
Abbas adalah seorang Allamah, Hafidzul Hadits serta guru para Kyai di
Buntet. KH. Anas bin Abdul Jamil juga merupakan tokoh yang sangat fenomenal. Pembawa
tarekat Tijaniyah ke tanah Jawa ini sudah terkenal kassyaf (mengetahui hal yang gaib) sejak usia belia.
Berbeda dengan ketiga saudaranya KH. Ilyas
merupakan ulama alim yang sangat zuhud dan wara'. Beliau senantiasa
membersihkan pelataran masjid serta berjalan kaki walaupun untuk menuju tempat
yang cukup jauh. Atau KH. Murtadlo, karib KH. Munawir Krapyak Yogyakarta ini
merupakan peletak dasar ilmu al-Qur'an di Buntet Ah, itu semua adalah masa lalu
mungkin ilmu para ulama bisa saja terkubur bersama kepergiannya ke alam barzah.
Para pendahulu kini telah mendapatkan tempat yang layak di
hadirat Allah SWT.Namun fondasi yang begitu kokoh diletakkan para founding father Buntet Pesantren hingga
kini masih berdiri tegak.
Saya sangat bangga dengan Buntet Pesantren,
karena proses regenerasi kepemimpinan dan keilmuannya sangat baik. Seiring
dengan meninggalkan para pendahulu kini muncul kader-kader ulama muda Buntet
Pesantren yang sangat luar biasa. Salah satunya adalah KH. Adib Rofi'uddin
Izza. Beliau yang sekarang mengemban amanah sebagai Ketua YLPI Pondok Buntet Pesantren,
juga merupakan Rois Syuriah PBNU termuda dalam usianya yang ke 40 tahun. Ini
menunjukkan kapasitas keilmuan dan kualitas pribadi yang menonjol dari diri Kyai
Adib. Di usianya yang belum begitu tua, beliau sangat vocal dalam setiap rapat
di PBNU. Baik rapat yang membahas masalaha internal keorganisasian, masalah fiqhiyah hingga masalah kebangsaan
seperti halnya hubungan NU dengan Partai Politik. Kyai Adib merupakan figur
yang penuh idealisme, berani menyampaikan kebenaran dan berani menyatakan sesuatu
yang berbeda dengan pandangan orang lain jika menurutnya benar.
Beliau juga merupakan Kyai yang sangat alim
dalam bidang fiqih. Hal ini jelas terlihat ketika memberikan penjelasan sebuah
kitab fiqih kepada santri. Saya sendiri sempat mengaji kepada beliau beberapa
kitab seperti Fathul Wahab (dibidang
fiqih), Tafsir Jalalain (dibidang
tafsir al-qur'an) dan Al-Hikam
(dibidang akhlak tasawuf). Semasa di pesantren hampir tiap malam juga saya mujalasah dengan beliau bersama warga
sekitar sambil menikmati teh tawar panas yang dihidangkan dengan gorengan. Satu
hal yang saya salut adalah walaupun sedang asyik-asyiknya ngobrol di depan
teras rumah beliau, jika waktu telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari beliau
pasti masuk kamar beliau untuk menjalankan Qiyamul
Lail. Murid kesayangan KH.Maimun Zubair ini sejak usia remaja memang sudah
terlihat tingkat keilmuan yang matang dan spiritualitas yang tinggi. Tidak
heran makannya jika sekarang beliau menjadi tokoh yang sangat terpandang.
Ada juga seorang Kyai
di Buntet walaupun usianya masih paruh baya tapi pembawaannya sangat sepuh.
Postur tubuh yang tinggi tegap dan raut wajah yang sangat tampan. Gaya bicara, gerakan
tubuh dan senyumannya pasti membuat setiap mata wanita memandang akan
terpesona. Beliau adalah KH. Abdul Basith Zen putra KH. Fuad Zen yang terkenal
sebagai qori international dari Buntet Pesantren. Konon katanya nama Abdul
Basith karena tafa'ulan (duplikasi
dengan maksud penghormatan) kepada karib ayahandanya yang seorang qori masyhur
dari Timur Tengah bernama Abdul Basith. Beliau merupakan alumni Pesantren Tegal
Rejo Jawa Tengah dan kini mengasuh Asrama Santri Al-Falah. Kealiman beliau di
bidang ilmu fiqih memposisikan beliau saat ini sebagai Ketua Lajnah Bahtsul
Masa'il NU Kabupaten Cirebon. Sebuah lembaga pengambilan keputusan hukum NU
yang menaungi ratusan pesantren di Kabupaten Cirebon. Jika kita
menyempatkan sekali-kali solat Iedul Fitri atau Iedul Adha di Masjid Jami
Buntet. Maka kita akan mendengarkan duet dua ulama muda Buntet. KH. Adib
Rofi'uddin selaku khotib karena memang beliau jago pidato sementara KH.Abdul
Basith sebagai Imamnya, alunan nada dalam membacakan ayat suci al-Qur'an sangat
merdu, syahdu dan begitu menyentuh. Sebuah duet yang sangat serasi, kompak penuh
harmoni. Saya selalu berdoa semoga kedua ulama muda Buntet ini senantiasa di
berikan kesehatan dan panjang umur.
Ada lagi, satu Kyai
muda Buntet yang hampir tiap bulan saya pinjam kitabnya. Beliau memang seorang
"kutu kitab". Kyai muda ini punya penyakit aneh, yaitu tidak bisa tidur jika
malam hari. Walaupun telah larut malam hingga dini hari mata beliau tidak
pernah mau berkompromi untuk tidur. Namun beliau justeru menikmati penyakitnya
tersebut, karena dengan demikian setiap malam beliau senantiasa bercengkerama
dengan kitab-kitabnya yang berjumlah ratusan judul dan berjilid-jilid. Hampir
seluruh ruang perpustakaan pribadinya di penuhi dengan kitab-kitab agama
tersebut. Setiap saya sowan ke beliau selalu saja ada di dekat mejanya satu
gelas teh, gula batu, sebuah teko tempat menuang teh, dan beberapa bungkus
rokok kretek. Terkadang beliau juga punya menu khusus, yaitu rokok "ting we",
ngelinting dewe. Perawakannya gemuk, tambun, dan selalu memakai sarung hingga
di bawah dada. Kyai muda ini adalah Tubagus Ahmad Rifky Chowas, putra KH. Chowas
Nuruddin seorang mantan Ketua Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren yang
juga karib KH. Syukron Makmun.
Konon gelar Tubagus yang disandangnya
merupakan gelar kehormatan yang di dapatkannya dari Kesultanan Banten. Kang
Ntus, panggilan akrabnya, pernah terseleksi sebagai salah satu kandidat Syuriah
NU Cirebon yang mendapat
pendidikan Ke-Syuriahan dari PBNU di Jakarta. Bagi saya beliau adalah "kitab
berjalan". Setiap kali berdiskusi dengan beliau, selalu saja mengalir dari
mulut beliau puluhan nukilan kitab yang beliau ingat diluar kepala. Terkadang
saya sampai tidak dapat mengingat apa saja kitab yang di nukil dan berapa puluh
kitab jumlahnya. Referensialnya sangat kuat dan tajam. Hebatnya lagi beliau
juga tidak perla luput meng-up date perkembangan pemikiran Islam modern di
tanah air maupun Timur Tengah bahkan pemikiran ke islaman di Barat. Maka jangan
heran kalau Kyai muda ini juga hobi mengoleksi buku-buku tulisan intelektual
muda NU, seperti Ulil Abshar Abdalla, Masdar Faried Mas'udi, Gunawan Muhammad,
Dawam Raharjo hingga pemikiran-pemikiran Gus Dur.
Banyak juga terpampang kitab Muwaffaqat Fi Maqashid al-Syari'ah karya
As-Syatibi, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu
karya Wahbah Zuhaili, karya-karya Sayid Abdurrahman Al-Buthi, An-Naim,
Al-Jabiri, Muhammad Arkoun hingga Hassan Hanafi. Beliau senantiasa bertukar
kitab dengan kawan-kawannya yang study di Timur Tengah. Tapi yang saya salut
beliau tetap konsisten dengan pemikirannya yang khas pesantren. Tidak mau ke
kiri-kirian, atau menjadi puritan ke kanan-kananan. Sungguh salut dengan
beliau, bukan hanya pandai memetakan dan mengkritisi pemikiran ulama salaf dan
intelektual Islam masa kini. Beliau juga telaten mengkoleksi ghara'ibul mas'alah dinniyah
(kasus-kasus fiqhiyah yang menyimpang dari mainstream ulama mazhab). Saya yakin
suatu saat beliau akan menjadi seorang ulama yang di hebat dan di segani.
Kyai-Kyai muda di atas merupakan produk
murni pendidikan salaf pesantren Indonesia. Tapi jangan salah
di Buntet Pesantren banyak juga Kyai muda yang merupakan prototype campuran
pendidikan salaf di pesantren dan juga lulusan Perguruan Tinggi Islam luar
negeri. Sebut saja misalnya KH.Abbas Sobich Mustahdi adalah seorang putra
mahkota Buntet Pesantren yang pernah belajar dan menetap lama di Arab Saudi. Putra
KH. Mustahdi Abbas ini juga seorang ahli di bidang Qiro'atus Sab'ah. Sebuah disiplin ilmu yang mempelajari
metode-metode pembacaan ayat suci al-Qur'an yang di ajarkan Tujuh Imam Besar. Sungguh
sangat di sayangkan Allah SWT memanggil beliau dalam usia yang masih paruh baya
karena penyakit yang di deritanya.
Di awal tadi saya juga telah menceritakan
paling bahwa KH. Aris Ni'matullah putra KH. Izzudin yang lulusan Cairo University. Adik iparnya KH. Wawan Arwani, MA adalah putra
KH.Amin Siraj sesepuh pesantren Gedongan Cirebon, ibu beliau Nyai Eni kakak
kandung KH. Hasanuddin Kriyani. Beliau merupakan alumni S2 di Chourtum
University Sudan dan sekarang
sedang menyelesaikan Disertasi S3-nya di Bidang Ilmu Tasawuf di UIN Jakarta. Mantan Ketua Umum
PMII Cirebon ini merupakan sosok organisatoris sejati dengan kemampuan
diplomasi nomor wahid. Setiap minggu beliau selalu pulang pergi Cirebon - Jakarta karena beliau
mempunyai pengajian ekskutif yang di ikuti oleh para pengusaha asal Cirebon di
Jakarta. Sebagai Wakil Ketua PCNU Cabang Kabupaten Cirebon, saya dengar beliau
juga di gadang-gadang untuk duduk sebagai wakil Bupati Cirebon atas rekomendasi
PCNU. Ayah beliau KH. Amin Siroj yang juga paman KH. Said Aqiel Siraj tersebut merupakan
tokoh kharismatik pilar ulama di Cirebon bagian timur.
Satu angkatan dengan KH. Aris Ni'matullah,
adalah KH. Ade Nasich, Lc. Beliau merupakan alumnus jurusan Ushuluddin
Universitas Al-Azhar Syarif Mesir. Ahli di bidang Teologi ini merupakan menantu
KH.Abdullah Abbas dan juga merupakan adik kandung KH. Cecep Nidzomuddin. Kang
Cecep, sapaan hangat KH. Cecep Nidzomuddin merupakan sosok Kyai muda yang
memiliki selera humor tiada duanya. Duta Dakwah Dompet Duafa Republika ini kini
selalu berkeliling nusantara untuk menebarkan dakwah islamiyah. Di Buntet
Pesantren juga tercatat banyak Kyai Muda yang pernah belajar di Al-Igra
University India, beliau adalah KH.
Luthfy El-Hakim, MA, KH. Abbas Billy
Yachsy, MA, dan KH. Yumni Fathoni Imam, MA. Saya tidak hapal semua dan tidak
dapat mengingatnya satu persatu Putra Buntet yang belajar di luar negeri. Yang
jelas juga masih banyak Putra Buntet yang hingga saat ini masih berada di luar
negeri bahkan juga sudah memiliki dua kewarganegaraan. Ada yang di Inggris, Australi, India, Pakistan ataupun di Timur
Tengah sana. Biar kampung
kecil, Buntet merupakan "perkampungan internasional".
Inilah fenomena perkampungan internasional bernama
Buntet Pesantren yang telah di rintis sejak lama oleh KH. Mustahdi Abbas. Sejak
masa-masa awal kemerdekaan beliau telah menjalin kontak diplomasi dengan
ulama-ulama Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Sudan, Syiria dan Yaman.
Dulu santri Buntet juga banyak sekali yang mendapat beasiswa belajar di Timur
Tengah. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Pesantren yang sudah berumur
ratusan tahun hingga saat ini masih tetap menunjukkan eksistensinya menjadi khadimul ummah (pelayan umat). Ini tentu
juga tidak terlepas dari barokah para pendahulu sebagaimana Mbah Muqoyyim yang
sebelum mendirikan pesantren berpuasa dulu selam 12 tahun untuk mendoakan
keluarga, santri dan tanah perjuangan Buntet Pesantren.
Di Buntet kini masih berdiri sekitar 40an
pondok pesantren, saya tidak hafal namanya satu persatu. Semuanya pondok atau
kadang disebut juga asrama memiliki seorang atau beberapa pengasuh yang biasa
di pegang oleh seorang Kyai atau Nyai beserta keluarganya. Mempunyai dewan as-satidz (dewan guru), sitem pengajian dirasah dinniyah yang berjenjang. Mulai
dari i'dadi (persiapan), sifir (kelas terendah), awaliyah (permulaan), tsanawiyah (pertengahan/lanjutan) dan aliyah (tingkat tinggi). Sayang memang
dengan potensi yang ada, sampai sekarang ini setahu saya belum ada sebuah
sistem dirasah dinniyah yang di bakukan secara seragam. Sehingga antara satu
pondok dengan lainnya cenderung memiliki managemen yang berbeda tergantung
managemen yang dipilih sang kyainya. Apalagi kalau saja bisa ada pengajian
wajib bersama yang di ikuti oleh seluruh santri Buntet Pesantren. Dimana para
Kyai Buntet secara bergiliran sesuai dengan bidang keilmuan yang dimilikinya.
Mungkin jika hal itu dapat di realisasikan maka Buntet dengan sumber daya
manusia yang ada akan menjadi pesantren yang mempunyai pendidikan handal dan
bermutu.
Waktu saya masih nyantri, akhirnya saya dan
sebagian santri punya prinsip jika pendidikan yang terintegrasi belum dapat
terealisir maka kamilah yang harus lebih aktif untuk mengikuti pengajian beberapa
ulama di Buntet. Seingat saya selain kepada KH. Fakhrudin Mulyono, KH.
Hasanuddin Busyrol Karim para ustadz di asrama C Al-Firdaus seperti Kang Omang,
Kang Abdurahman, Kang Qohar, Kang Fathuddin dan Kang Ukhi. Saya juga sempat
mengaji kepada KH. Adib Rafi'uddin, KH.Ahmad Manshur, KH.Abdul Hamid Anas dan
KH. Abdullah Syifa Akyas. Saya juga bersama beberapa alumni dari pesantren
Ploso Kediri, Jombang dan alumni Buntet sendiri pernah ngaji khusus kepada KH.
Ali Maufur yang juga guru Al-Fiyah Ibnu
Malik saya di MANU BPC. Selama bulan puasa hingga bulan Syawal kami mengaji
beberapa kitab kepada beliau, termasuk diantaranya Durrotun Nasihin yang berisi mauidlah bekal dakwah serta kitab Fathul Jawwad Fil Ma'fuwwat. Sesuai
namanya kitab ini menjelaskan najis-najis yang mendapat ditolelir atau bahkan
di anulir dari sisi hukumnya.
Kediaman KH. Ali Maufur berada di seberang
sungai yang menjadi yang membatasi wilayah perkampungan Buntet Pesantren. Kata
orang sekitar daerah tersebut kalau tidak salah dinamakan Blok Sekrikil. Di
cluster Sekrikil tersebut juga terdapat beberapa Pondok Pesantren yang masih
dibawah naungan YLPI Buntet Pesantren. Selain pondok Al-Khoir yang di pimpin
KH.Ali Maufur terdapat pula pondok Syubaniyah Islamiyah Pimpinan KH. Baedlowi. Ada juga pondok Habil
Ilmi pimpinan KH.Habil Ghomam, pondok Ar-Raudlah pimpin KH. Jirjis Umar Yutho, pondok
dan Sekolah SLTP Islam peninggalan KH. Aziz, seorang tentara ulama berpangkat
kolonel. Di samping kanan jalan utama masuk ke Buntet juga berdiri megah
bangunan Akademi Keperawatan Pondok Buntet Pesantren, satu-satunya AKPER di
Jawa Barat yang mewajibkan Mahasiswanya mampu menguasai baca tulis al-Qur'an
dan Fiqih Dasar.
Semua mahasiswa wajib mengikuti pengajian
fiqih terutama fiqhun najasah karena
profesi perawat sangat rentan berhubungan dengan hal tersebut. Di sebelah
kanannya juga terdapat Gedung MANU Putra BPC yang baru. Harap di ketahui bahwa
di Buntet Pesantren mulai dari pendidikan dasar pendidikan formal untuk siswa
putra dan siwa putri semuanya di pisahkan. Untuk sekolah formal khusus putra
semua dewan gurunya pun semuanya laki-laki. Bisa di bayangkan kalau sudah siang,
maka bau keringat siswa putra dikelas mulai menguap. Di tambah lagi bau minyak
misik guru-guru kami yang mayoritas juga Kyai. Waduh, sangat menyengat dan
membuat pusing kepala. Berbeda dengan sekolah khusus putri yang baik siswi
amaupun ustadzahnya semuanya cantik-cantik dan wangi-wangi.
Di samping kiri jalan terlihat bangunan
luas bertuliskan Madrasah Aliyah Negeri Buntet Pesantren. Satu-satunya
pendidikan lanjutan di Buntet yang berstatus negeri dan menjadi favorit untuk
masyarakat sekitar. Sebenarnya Buntet sudah memproyeksikan beberapa Mega Proyek
Pendidikan dan Fasilitas Pesantren. Diantaranya adalah peningkatan status Akademi
Keperawatan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Pembukaan Akademi Kebidanan,
Pembangunan Universitas Buntet Pesantren, peningkatan Lembaga Bahasa dan Komputer
menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komputer. Disamping itu para pengurus YLPI juga
telah memproyeksikan pendirian Rumah Sakit Islam Buntet Pesantren. Semoga semua
cita-cita besar ini dapat segera terealisir. Amin.
Di samping bangunan MANU Putra BPC juga
terdapat Pesantren Nurul Arwani pimpinan KH.Wawan Arwani bersama irterinya
Hajah Nurul. Di seberangnya juga terlihat Pesantren Riyadussolihin pimpinan KH.
Djawahir Juha seorang pendidik dan pengarang kitab Nahwu bagi pemula yang laris di kalangan pesantren. Di belakang
MANU Putra BPC sendiri terdapat lapangan sepak bola milik Kelurahan Mertapada
Kulon. Buntet Pesantren sebenarnya hanyalah sebuah Dusun atau Dukuh yang secara
administratif masuk ke Kelurahan Mertapada Kulon Kecamatan Astana Japura.
Lapangan sepak bola tersebut juga sering kali di gunakan sebagai Hellipad jika ada pejabat yang
berkunjung ke Buntet dengan menggunakan Hellicopter.
Jika bulan Agustus tiba, lapangan tersebut
sering di gunakan sebagai arena turnamen sepakbola yang melibatkan seluruh desa
di Kecamatan Astana Japura. Para santri dan kyai
biasanya tumplek blek menyaksikan
pertandingan sepak bola di lapangan tersebut. Kesebelasan Buntet biasanya di
perkuat oleh Kang Farid Cs. Kang Farid yang dilapangan sering di panggil
"Panji" karena memang ketampanan dan bodynya mirip Primus. Aktor pemain
sinetron jagoan anak-anak waktu itu yang menampilkan tokoh jagoan bernama
Panji. Beliau adalah putra tertua dari KH. Nasirudin Zahid seorang ulama
kharismatik yang pengajiaannya senantiasa di ikuti oleh mayoritas para putra
Kyai Buntet. Bukan hanya kang Farid, tapi adik beliau Kang Luthfi dan Kang
Zidni juga selalu memperkuat team kesebelasan Buntet. Saya tidak tahu apakah
sekarang Kang Farid masih bisa bermain bola atau tidak?. Karena katanya beliau
sekarang sedang laris manis mendapat undangan pengajian agama dari berbagai
daerah sekitar. Mungkin kalo dulu penampilan Kang Farid mirip Panji mungkin
sekarang lebih mirip Uje, bukan ustadz Jeje seksi sibuk di Buntet, tapi ustadz Jefry yang juga selebritis itu.
Inilah tokoh-tokoh muda Buntet dengan
segara aktifitasnya. Ada yang ngajar ngaji saja di pesantren, ada yang mengajar
di sekolah formal, ada yang menjadi dosen, ada yang menjadi pengurus organisasi
sosial, menjadi birokrat, berdagang, kerja sektor informal bahkan mungkin ada
juga yang jadi paranormal. Segudang cerita yang tidak akan pernah habis, dari
hari ke hari dari generasi ke generasi. Buntet selalu saja mempunyai momentum
untuk menentukan sikap sesuai garis perjuangannya. Sebuah dinasti pesantren keturunan
ningrat dari Keraton Cirebon yang memiliki
garis silsilah kepada Sunan Gunung Jati. Sebagai pesantren yang banyak di huni
tokoh kaliber nasional, Buntet mau tidak mau juga banyak sekali terlibat dalam
pentas perpolitikan nasional. Fatsoen politik yang menjunjung tinggi etika
keagamaan, menjaga tradisi luhur kepesantrenan serta nilai-nilai kultural.
Kancah Politik
Saya kira yang paling faham tentang pentas
politik pesantren di kancah nasional saat ini adalah KH.Anas Arsyad. Seorang
tokoh muda Buntet Pesantren yang mempunyai jaringan luas, visi ke depan,
diplomatik serta mempunyai gaya berpidato yang
khas. Kepandaian dalam berpidatonya sungguh luar biasa, dengan pilihan kata
yang padat penuh arti, beliau sanggup menggugah motivasi ataupun menyentuh perasaan
terdalam pendengarnya. Sebagai mantan dosen civic
education beliau juga sangat memahami tentang ilmu politik dan tata Negara.
Beliaulah konsolidator pesantren secup nasional dan sangat dicintai para ulama.
Setiap kali ada pertemuan Kyai Khos di Indonesia, selalu saja KH.Anas Arsyad
konsolidatornya.
Beliau laksana Kyai As'ad Syamsul Arifin
muda yang sering menjadi penyambung lidah para Kyai Khos. Bukan hanya dicintai
oleh para Kyai Khos, para intelektual muda pun seperti halnya Ahmad Denni
Daruri (Executive Director Banking Crisis Centre) juga sangat dekat dengan
beliau. Bahkan mungkin sudah dianggapnya sebagai orang tua sendiri bagi Bung
Deni yang tulisannya setiap minggu muncul di kolom Opini Media Indonesia. Kang
Anas, begitu koleganya sering menyapa adalah sosok yang mampu membangun
komunikasi dengan berbagai pihak. Tak heran jika kolega beliau begitu banyak
mulai dari para pengasuh pesantren, pejabat pusat, pengusaha kelas nasional,
aktivis pergerakan bahkan hingga beberapa selebitris. Sekarang ini Kang Anas
juga mengadakan pengajian rutin di salah satu kediamaannya di Jakarta untuk segenap
keluarga besar, santri dan alumni Buntet Pesantren di Jakarta. Kang Anas adalah
kader pemimpin masa depan dari pesantren yang patut di banggakan.
Begitu banyak kader Buntet Pesantren yang
berkiprah di luar, tapi banyak juga para Kyai yang istiqomah menjadi benteng
pendidikan keagamaan di pesantren Buntet. Sebut saja misalnya KH. Jaelani Imam
pengasuh pondok Al-Hidayah, KH.
Amiruddin pengasuh pondok Hidayatul Mubtadiin, KH. Majduddin Busyrol Karim
pengasuh pondok Al-Hikmah I, KH.Salman Al-Farisi pengasuh pondok Al-Hikmah II,
KH. Anis Manshur pengasuh pondok Nadwatul Banin, KH. Jachus Santoso pengasuh
pondok Al-Anwar, KH. Yusuf Ma'mun pengasuh pondok Al-Makmun, , KH. Turmudzi Nur
pengasuh pondok An-Nur, KH. Immaduddin pengasuh pondok Darul Amanah, KH. Rofi'i
Kholil pengasuh pondok Nurussobah hingga KH. Ahmad Tijani Anas pengasuh
pesantren Darul Hijroh I. Ada juga pondok yang sepeninggal Kyai pendirinya akhirnya
di teruskan oleh isteri, putera atau menantu para Kyai tersebut. Saya tentu
tidak dapat menyebutnya satu persatu karena jumlahnya mencapai puluhun.
Termasuk dalam naungun YLPI Buntet
Pesantren adalah pesantren-pesantren yang berada pada cluster sebrang sungai
sisi kiri yang di sebut Blok Buntet Sebrang. Buntet Pesantren secara geografis
memang di kelilingi oleh dua sungai besar sehingga daerah tersebut di namakan
Buntet yang artinya buntu. Konon masyarakat sekitar mempunyai kepercayaan bahwa
santri yang berasal dari Jawa Tengah di larang keras mandi di sungai tersebut. Memang
sudah banyak kejadian santri Jawa Tengah yang nekat mandi di sungai tersebut di
temukan dalam keadaan pingsan atau bahkan tewas secara tidak wajar. Padahal
arus sungainya relatif kecil, sungainya pun juga dangkal. Ini merupakan salah
satu cerita misteri yang ada, masih banyak lagi cerita mistik yang lain yang
tidak bisa diceriterakan disini.
Di Blok Buntet Sebrang tersebut juga
terdapat beberapa pondok seperti pondok Al-Hikmah III yang di asuh KH. Ahmad
Mursyidin dan pondok Al-Muafi yang diasuh KH.Abdul Matin. Saya jadi ingat dulu
saya pernah belajar tilawatul Qur'an kepada KH.Abdul Matin di pondok Al-Muafi
tersebut. Namun baru dua kali pertemuan saya sudah menyerah angkat tangan
karena saya sadar diri. Suara saya yang bariton, nafas pendek dan karakter
suara yang terlalu banyak fibrasi tidak cocok untuk menjadi seorang Qori.
Walaupun program gurah tenggorakan dan berpantang makan gorengan, tidak berubah
juga suara saya menjadi baik. Mungkin saya lebih tepat memimpin tahlil saja
yang bacaannya pendek-pendek dari pada berlatih tilawah yang harus bisa
bernafas panjang.
Di Blok Buntet Sebrang ini pulalah saya
bersama kawan-kawan santri lain selalu menghabiskan sore hari. Jika tidak ada
jadwal mengaji, kami selalu bermain sepak bola disitu. Lapangannya adalah kebun
belakang rumah penduduk yang ditelah tumbuh beberapa pohon asem. Tentu tidak
ada rumput hijaunya sama sekali, apalagi garis lapangan. Bola akan di anggap
out dari lapangan apabila telah melewati pekarangan sebelah yang sudah di buat
fondasi karena akan segera di bangun rumah. Atau bola telah melewati jalan desa
yang banyak dilalui motor atau kalau tidak berarti bola telah meluncur terbawa
aliran sungai. Walaupun di samping kiri kanan terdapat rumah penduduk tapi
tendangan jarak jauh yang mengenai rumah tidak berbahaya. Bukan karena apa-apa,
tapi karena bola yang kami gunakan adalah bola plastik. Bola tersebut hanya
dapat bertahan untuk lima sampai sepuluh
kali permainan. Setiap terkena runcing batu atau ketika terjadi benturan
tendangan antar pemain bola akan pecah atau sobek. Gawangnya cukup di buat
dengan menancapkan dua galah bambu yang biasa digunakan untuk kegiatan
ekstrakulikuler pramuka di sekolah.
Karena badan saya gemuk saya selalu
mendapat posisi untuk memperkuat lini belakang pertahanan. Mungkin juga kalau
jadi penyerang saya kurang gesit berlari. Kami biasanya lebih senang jika hujan
turun, karena permainan akan lebih mengasyikkan. Yang paling lucu dari
permainan ini adalah kostum kami. Biasanya para santri bermain bola dengan
memakai kaos dan sarung. Tentu kami juga memakai celana pendek atau paling
tidak celana dalam. Tapi terkadang ada juga yang nekat tidak memakai celana
sama sekali. Hanya memakai sarung dan
kaos oblong saja. Celakanya, pas terpeleset jatuh di tidak sadar kalau
sarungnya robek sampai ke paha. Walhasil. "tongkat polisi" si santri tersebut
tak ayal menjadi tontonan lucu oleh pemain lainnya. Tapi mungkin inilah
kebahagiaan hidup santri yang tidak dapat di beli dengan harta atau kenikmatan
lainnya.
Pikiran saya mulai membayang menerawang
kemana-mana mengingat masa-masa indah nyantri di Buntet Pesantren. Saya jadi
ingat kawan-kawan "seperjuangan" saya. Salah satunya adalah Mas Sulam santri
KH.Ahmad Tijani Anas yang berasal dari Purwokerto. Dulu, setelah nyantri dari
Buntet meneruskan ke Pesantren Sarang Rembang dan akhirnya dia kembali lagi ke
Buntet. Kang Yusuf dan Kang Ipin keponakan KH. Yusuf Makmun yang saat itu juga
mengajar di beberapa pondok. Kang Azizi putra Uwa Abdul Bari yang sering di
panggil oleh Kang Farid dengan sebutan "3 X 4". Di panggil demikian karena
memang postur tubuhnya sangat pendek seperti past foto yang sering dia cetak.
Yah..kebetulan Kang Azizi memang seorang fotografer senior Buntet yang
studionya cukup dengan menempel kain biru polos di dalam ruang tamu rumahnya.
Saya juga ingat Busyaeri rekan seperjuangan
saya yang pernah punya cita-cita ingin menjadi "Kepalanya Kapolri". Dia
sekarang sudah diangkat menjadi PNS di Pengadilan Agama Kota Cirebon. Bulan lalu saya
ketemu dia, katanya sekarang tujuan hidupnya tinggal satu "ingin secepatnya
menikahi pacarnya anak Indramayu yang katanya secantik dewi persik". Anak-anak
Garesado (Gabungan Remaja Sawo Doyong). Nama yang aneh?!. Zaki Mubarok "Cecep"
tukang komputer, Tamar, Amar Jhon, Amar Congkrek, Awang, Ang Say, Dawud, Mas Hadi instruktur fitness, Wawan gendut,
Mang Bawon pemilik caffe dengan menu special "rumbah so'un".
Ada nama klub sepak
bola di Buntet yang bernama PS Tiga Roda. Tentu bukan karena sponsor utamanya
semen tiga roda tetapi karena pemainnya adalah tukang-tukang becak. Klub ini
selalu menjadi primadona ketika ada turnamen "kambing cup" yang biasa di gelar
di Stadiun Utama Buntet, "Stadiun Kebon Ledeng". Lapangannya sangat aneh karena
bentuknya mirip wajan dengan tingkat kemiringan 45 derajat. Ada juga yang
dinamakan masyarakat T-KAD, kepanjangannya adalah tuan kandang. Kelompok ini
merupakan cluster masyarakat Buntet yang berada di sisi rel kereta api yang
melintasi depan pesantren. Pimpinannya adalah Man Rochim yang lebih biasa di
panggil Man O'im. Seorang senior driver
di Buntet yang kini juga berdagang peralatan elektronik dan listrik.
Mas Waros serta Kuswito tenaga administrasi
MTs teladan di Buntet. Terlalu banyak kenangan dengan mereka terutama langganan
utang saya untuk biaya transport kuliah. Ada juga rekan sesama
khodam di pesantren bernama Ahmad Syaefuddin, biasa kami panggil U'u. Anak yang
paling jarang pakai sandal ini sekarang sudah hebat. Setelah mondok di Buntet
dia bercita-cita ingin kuliah di Cirebon. Akhirnya dengan
bekal suara merdunya ketika mengumandangkan adzan dia melamar jadi pengurus
masjid di bilangan Perumnas Cirebon. Dari hasil gaji mengurus masjid, memberi
private pengajian dan mengajar al-qur'an di masjid. Dia sekarang sudah semester
akhir kuliah di STAIN Cirebon. Perjuangan yang
sangat mulia dan patut di teladani.
Saya juga teringat putra-putri Kyai yang
semuanya baik, ganteng-ganteng dan cuantik-cuantik. Persis seperti
bintang-bintang film Bollywood. Mereka inilah yang nantinya kan menjadi
pemimpin-peminpin Buntet di masa yang akan datang. Tidak terasa ternyata saya
dari tadi masih duduk termenung di beranda masjid setelah melaksanakan solat
Subuh berjamaah yang di imami oleh KH. Hasannudin Kriyani.
Seorang santri menghampiri saya dan
menyampaikan bahwa saya di tunggu sarapan oleh Kyai saya, KH.Hasannudin Busyrol
Karim di kediamannya. Aha!!..menu kesukaan saya telah tersedia di meja tamu
Kyai, serabi hangat disandingkan dengan tempe goreng. Lidah saya
sudah tidak sabar untuk mencicipinya. Ditemani segelas teh tawar hangat saya
pun mulai menyantap menu istimewa khas "restoran itali" tersebut.
Sambil ngobrol ngalor ngidul saya dan Kyai
melahap serabi hingga hampir habis. Tak terasa matahari mulai menghangatkan
bumi para santri tersebut, dan di ujung sana sudah mulai
terlihat berjejer food court
menjajakan makanan sarapan untuk para santri. Paling ujung kanan terlihat Man
Asep dengan makanan ketoprak khas Cirebon, Man Ilyas dengan
Bajigur dan ketela rebusnya, Man Munir dengan bubur ayamnya. Ada juga nasi ponggol
yang di jajakan Bi Pat dang sang suami tercinta, Man Aom dengan dagangan
macam-macam di gerobak mulai dari permen, kerupuk, teh botol hingga rokok.
Terlihat juga Man Yadi mulai memarkin gerobak es campurnya yang senantiasa
laris manis di borong para santri. Tidak perduli siang malam, cuaca panas
ataupun hujan sekalipun. Selalu saja dagangan es campurnya habis tak tersisa.
Buntet Pesantren memang penuh keberkahan begitu Man Yadi sering menasihati
saya.
Entah sudah berapa generasi berganti, entah
sudah berapa juta alumni yang pernah nyantri, Waktu serasa telah terhenti,
tinggallah cahaya ilmu yang terus menyinari. Buntet Pesantren tetap ada penuh
dedikasi. Berapa banyak Ulama, Pemimpin, Intelektual, Pengusaha dan Birokrat
yang telah di lahirkan dari bumi perjuangan tersebut. Bakti persada para
pahlawan tanpa tanda jasa, telah paripurna menasbihkan asma-Nya. Puspita Warni Ma'hadi Buntet As-Syirboni.
0 comments: