Kebersihan Lahir Batin
Posted by Unknown |  at 1:48 AM
No comments
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Saya pernah diterbangkan takdir melawat ke beberapa negara di Eropa (tahun 1999-2000) dan Jepang (tahun 2004). Salah satu yang menarik perhatian dan mengesankan bagi saya, baik ketika di Eropa maupun di Jepang, adalah pemandangan kota-kotanya yang bersih. Di jalan-jalan, di tempat-tempat umum, saya sama sekali tidak pernah melihat secuil pun sampah berceceran.
Tempat-tempat sampah benar-benar berfungsi. Bahkan, mereka yang berjalan-jalan dengan menuntun anjing, tidak lupa membawa kantong dan air untuk berjaga-jaga kalau-kalau anjing mereka membuang kotoran di jalan, sehingga mereka bisa segera membersihkannya.
Luar biasa. Padahal, saya tidak menjumpai satu pun plakat bertuliskan “Al-Nazhaafatu minal iman”. Saya membandingkan pemandangan itu dengan di negeri sendiri dimana kita bisa menjumpai tulisan hikmah itu lengkap dengan terjemahannya “Kebersihan adalah bagian dari iman” hampir di setiap tempat umum. Namun, sering kali kita justru menyaksikan tumpukan sampah seperti mengejek kata-kata mutiara itu di bawahnya.
Ini boleh jadi merupakan ironi teori dan praktik. Menurut teori, negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya adalah negeri yang paling bersih. Lihatlah, pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paling bersih yang menganjurkan dan mencontohkan kebersihan hidup tidak hanya secara batiniah, tapi juga lahiriah. Mereka yang membaca Siirah Rasul SAW, pasti akan dapat menyimpulkan betapa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat bersih dan menyukai kebersihan.
Rasulullah SAW diriwayatkan misalnya, memiliki kulit yang bersih, gigi yang putih berkilauan, dan bau badan yang harum semerbak, dan hampir tidak pernah sakit sepanjang hidupnya. Ajarannya yang paling elementer seperti wudhu, misalnya, jelas sekali betapa kebersihan merupakan sesuatu yang sangat diutamakan dalam Islam. Dalam sebuah Hadits sahih yang sangat popular, Rasulullah SAW bahkan menyatakan, seandainya tidak khawatir akan memberatkan umatnya, pasti akan memerintahkan mereka untuk menggosok gigi setiap akan shalat.
Apabila Anda perhatikan kitab-kitab fikih yang selalu diajarkan di pesantren-pesantren, Anda akan menjumpai bahwa bab awal dari setiap kita itu adalah bab thaharah, sesuci. Biasanya, diawali dengan membicarakan air, dari air yang bersih hingga yang kotor dan najis.
Sayangnya, para santri dan kaum Muslimin umumnya hanya mengaitkan ajaran sesuci ini dengan keabsahan shalat. Ini pun kebanyakan dilihat secara ‘normatif’ saja. Jarang sekali, yang mengaitkan ajaran sesuci ini dengan kebersihan dan kesehatan. Hadits Nabi SAW “Idzaa balaghal maa-u qullatain lam yahmil hubutsan” diartikan bahwa air yang mencapai dua qullah (sekitar 60 cm³) tidak terpengaruh oleh najis. Sehingga, Anda bisa melihat banyak masjid atau dan mushala yang memiliki tempat cuci kaki berupa kolam yang rupanya sudah kehitaman, karena sudah terlalu lama digunakan mencuci kaki.
Di samping itu, pendekatan najis pun seolah-olah tidak ada hubungannya dengan hal-hal lain, seperti penyakit dan kesehatan. Maka, sering terlihat orang-orang berwudhu langsung mencelupkan tangan-tangan mereka ke bak atau kulah (diambil dari qullah), bahkan berkumur yang air kumurannya dikembalikan ke bak atau kulah itu. Dasar pemikirannya mungkin, bak itu isinya air yang lebih dari 2 qullah; lagi pula air ludah itu tidak najis.
Ini agak aneh, bila kita ingat bahwa kalangan santri juga akrab dengan maqalah: “Al’aqlu al-saliim f al-ljismi al-saliim”, akal yang sehat terletak pada jasad yang sehat. Dan kebersihan tak perlu lagi diterangkan pentingnya bagi penjagaan kesehatan.
Waba’du, untuk membudayakan hidup bersih, lahir batin, kiranya kita perlu terus-menerus menghadirkan pribadi Rasulullah SAW secara utuh. Tidak hanya dalam wacana madah dan bershalawat di peringatan-peringatan maulidiyah, tapi juga dalam upaya peneladanan sehari-hari. (Dapatkan versi cetaknya dalam Majalah MataAir Edisi 12 yang terbit Mei 2008)
Luar biasa. Padahal, saya tidak menjumpai satu pun plakat bertuliskan “Al-Nazhaafatu minal iman”. Saya membandingkan pemandangan itu dengan di negeri sendiri dimana kita bisa menjumpai tulisan hikmah itu lengkap dengan terjemahannya “Kebersihan adalah bagian dari iman” hampir di setiap tempat umum. Namun, sering kali kita justru menyaksikan tumpukan sampah seperti mengejek kata-kata mutiara itu di bawahnya.
Ini boleh jadi merupakan ironi teori dan praktik. Menurut teori, negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya adalah negeri yang paling bersih. Lihatlah, pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paling bersih yang menganjurkan dan mencontohkan kebersihan hidup tidak hanya secara batiniah, tapi juga lahiriah. Mereka yang membaca Siirah Rasul SAW, pasti akan dapat menyimpulkan betapa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat bersih dan menyukai kebersihan.
Rasulullah SAW diriwayatkan misalnya, memiliki kulit yang bersih, gigi yang putih berkilauan, dan bau badan yang harum semerbak, dan hampir tidak pernah sakit sepanjang hidupnya. Ajarannya yang paling elementer seperti wudhu, misalnya, jelas sekali betapa kebersihan merupakan sesuatu yang sangat diutamakan dalam Islam. Dalam sebuah Hadits sahih yang sangat popular, Rasulullah SAW bahkan menyatakan, seandainya tidak khawatir akan memberatkan umatnya, pasti akan memerintahkan mereka untuk menggosok gigi setiap akan shalat.
Apabila Anda perhatikan kitab-kitab fikih yang selalu diajarkan di pesantren-pesantren, Anda akan menjumpai bahwa bab awal dari setiap kita itu adalah bab thaharah, sesuci. Biasanya, diawali dengan membicarakan air, dari air yang bersih hingga yang kotor dan najis.
Sayangnya, para santri dan kaum Muslimin umumnya hanya mengaitkan ajaran sesuci ini dengan keabsahan shalat. Ini pun kebanyakan dilihat secara ‘normatif’ saja. Jarang sekali, yang mengaitkan ajaran sesuci ini dengan kebersihan dan kesehatan. Hadits Nabi SAW “Idzaa balaghal maa-u qullatain lam yahmil hubutsan” diartikan bahwa air yang mencapai dua qullah (sekitar 60 cm³) tidak terpengaruh oleh najis. Sehingga, Anda bisa melihat banyak masjid atau dan mushala yang memiliki tempat cuci kaki berupa kolam yang rupanya sudah kehitaman, karena sudah terlalu lama digunakan mencuci kaki.
Di samping itu, pendekatan najis pun seolah-olah tidak ada hubungannya dengan hal-hal lain, seperti penyakit dan kesehatan. Maka, sering terlihat orang-orang berwudhu langsung mencelupkan tangan-tangan mereka ke bak atau kulah (diambil dari qullah), bahkan berkumur yang air kumurannya dikembalikan ke bak atau kulah itu. Dasar pemikirannya mungkin, bak itu isinya air yang lebih dari 2 qullah; lagi pula air ludah itu tidak najis.
Ini agak aneh, bila kita ingat bahwa kalangan santri juga akrab dengan maqalah: “Al’aqlu al-saliim f al-ljismi al-saliim”, akal yang sehat terletak pada jasad yang sehat. Dan kebersihan tak perlu lagi diterangkan pentingnya bagi penjagaan kesehatan.
Waba’du, untuk membudayakan hidup bersih, lahir batin, kiranya kita perlu terus-menerus menghadirkan pribadi Rasulullah SAW secara utuh. Tidak hanya dalam wacana madah dan bershalawat di peringatan-peringatan maulidiyah, tapi juga dalam upaya peneladanan sehari-hari. (Dapatkan versi cetaknya dalam Majalah MataAir Edisi 12 yang terbit Mei 2008)
Tagged as: Opini
About the Author
Write admin description here..
Get Updates
Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.
Share This Post
Related posts
0 comments: