Beragama dengan Santun dan Damai
Oleh: Dr. Komaruddin Hidayat
AJARAN dan pesan agama itu bagaikan air hujan yang
membuat tanah kering menjadi gembur, sehingga rumput serta pepohonan
pun tumbuh rindang.
Bunganya yang warna-warni sedap dipandang
mata. Kemudian daun, buah, dan batangnya menawarkan manfaat buat
manusia. Begitulah gambaran Alquran tentang wahyu yang diturunkan
melalui para Rasul-Nya yang merupakan cikal-bakal agama, yang semuanya
itu diharapkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ajaran dan pesan agama
itu bagaikan obat,penawar berbagai penyakit.
Terutama
penyakit hati dan sosial, agar masyarakat hidup damai, makmur, dan
bahagia. Lagi-lagi, begitu indahnya pesan Alquran. Jadi, kalau
akhir-akhir ini kita melihat dan menyaksikan kehidupan beragama yang
terkesan galak dan mengumbar kebencian dengan sesama warga negara dan
sesama umat beragama, pasti ada yang salah dalam berkomunikasi. Pasti
silaturahmi sedang krisis.
Hal ini perlu
disadari oleh semuanya, lalu dicari penyebab dan solusinya. Sebagai
umat beragama, apa pun agama dan pahamnya, kita semua malu ketika agama
justru menjadi sumber dan beban masalah bagi kehidupan berbangsa dan
kemanusiaan, bukannya sebagai penyejuk dan penyubur kehidupan dan
peradaban. Orang boleh saja berkata ajaran agama mesti benar, yang
salah umatnya.
Yang salah adalah pengikutnya.
Tetapi perlu kita ingat, agama—apa pun namanya— pada akhirnya
baik-buruk ajarannya akan dilihat bagaimana dampak dan wujudnya yang
ditunjukkan oleh pemeluk dan yang mengusung label agama itu. Mirip
obat, betapa pun muluk-muluk dan indah iklannya, orang akan menghargai
dan membeli atau menolak obat itu setelah dibuktikan oleh mereka yang
meminumnya.
Jadi, begitu wahyu yang berasal
dari langit dan alam gaib turun menyejarah ke bumi manusia, baik-buruk
sebuah agama akan dilihat pada fungsi dan dampaknya, apakah benar-benar
sebagai obat penawar dan air penyejuk ataukah malah jadi sumber konflik
dan peperangan? Pendeknya, agama telah masuk pada wilayah profan, meski
berasal dari dunia yang sakral. Itulah sebabnya Tuhan tidak sembarangan
memilih rasul.
Mesti orang yang akhlaknya
baik, tutur katanya lemah lembut, tegas dan jelas dalam pendirian; namun
bijak dan cerdas dalam menghadapi orang yang berbeda, bahkan
berseberangan. Figur nabi-nabi yang oleh sejarah masih mudah ditelusuri
antara lain Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad. Kesemuanya itu
dikenal oleh kaumnya sebagai orang yang berakhlak mulia dan sangat
santun.
Jadi,kalau ada orang membawa bendera dan
menyatakan diri sebagai pewaris ajaran nabi, tetapi meninggalkan
prinsip akhlak mulia dan kesantunan,maka orang itu akan menodai citra
para rasul yang mulia.Prinsip ini berlaku bagi umat Yahudi, Nasrani,
dan Islam yang ketiganya pernah menumpahkan darah atas nama Tuhan
sehingga menodai lembaran sejarah agama. Agama lalu dibela, diajarkan,
sekaligus dicurigai dan dibenci.
Kehadiran Desa Buana
Munculnya
fenomena desa buana (global villages) telah mengubah banyak sekali cara
hidup manusia dan sistem nilai serta budaya yang tak terbayangkan
sebelumnya, termasuk pemahaman dan hubungan antarumat beragama. Zaman
dulu, ketika penduduk bumi masih sedikit lalu Tuhan mengirimkan rasul,
maka komunitas pemeluk agama hampir bersifat homogen, jumlahnya kecil
dan mereka memiliki figur pemimpin manusia super berpangkat rasul Tuhan
dengan dilengkapi kekuatan mukjizat sebagai senjata pamungkas.
Tapi
saat ini kita hidup dalam masyarakat yang semakin majemuk dan jumlah
manusia pun terus berkembang. Lagi pula, tak ada sosok nabi yang
memiliki otoritas pewahyuan.Perjumpaan dan benturan antarbudaya dan
agama semakin intens. Mirip perempatan jalan raya di kota besar yang
selalu macet oleh banyaknya kendaraan, jauh berbeda dari jalan kampung
zaman dulu yang lengang.
Jadi, kalau terjadi
benturan dan salah paham serta pertengkaran antarpemeluk agama,
sebagaimana pertengkaran antarsopir akibat jalan yang semrawut, hal itu
sangat wajar. Hal itu menjadi tidak wajar kalau berlangsung terus
sebagaimana suasana semrawut lalu lintas Kota Jakarta. Bagaimana agar
semuanya tertib, santun, dan damai? Ada beberapa aspek strategis yang
mesti diwujudkan. Pertama, meningkatkan pendidikan dan ekonomi warga.
Kedua, muatan
kurikulum pendidikan agama dan warga negara mesti diperbaiki, kurikulum
dan metode pembelajaran yang membuat setiap warga dan pemeluk agama
saling menghargai. Masing-masing tahu batas hak dan kewajiban ketika
masuk ke ranah publik. Ketiga, pemerintah mesti tegas dan adil dalam
menegakkan hukum sehingga siapa pun yang melanggar hukum mesti siap
menerima sanksi, apa pun agama dan status sosialnya.
***
Sekarang
ini, umat Islam di belahan Timur maupun Kristen dan Yahudi di belahan
Barat, mengidap rasa curiga satu terhadap yang lain. Di Barat,
perkembangan Islam dipandang sebagai agresi kultural dan ideologis
terhadap agama mainstream. Sebaliknya, pengaruh dan kehadiran Kristen
dan Yahudi ke dunia Islam dianggap sebagai kelanjutan imperialisme dan
perang salib.
Jadi, semuanya mengidap rasa dan
sikap saling membenci serta curiga. Semuanya sakit. Semuanya mudah
marah dan mudah tersinggung. Semua pihak mengalami krisis percaya diri
dan sikap toleransi. Apakah yang menjadi penyebab? Tentu banyak dan
pertanyaan ini tak habis-habisnya dibahas para ilmuwan sosial sehingga
telah melahirkan ribuan judul buku. Kembali ke posisi awal, agama
sebagai curah hujan dari langit atau mengalir dari sumber mata air yang
jernih.
Maka bila percikan dan aliran air itu
mengumpul, menyatu, dan kemudian menjelma menjadi sungai besar dalam
arus sejarah, sudah pasti air tak pernah lagi jernih.Banyak sekali
elemen lain yang ikut bergabung, sejak dari ikan sampai sampah dan
kotoran lain. Begitulah sejarah agama.
Perjalanan pesan suci dan mulia
dari Tuhan yang bergerak bersama berbagai elemen lain yang dimasukkan
oleh pemeluknya, sehingga ketika agama menyejarah, maka wajahnya selalu
mendua, sebuah cita suci dan mulia, namun adakalanya diteriakkan oleh
hati, tangan,dan pikiran yang tidak selalu suci, mulia, santun dan cinta
damai.
Memasuki desa buana, ditambah lagi
kenyataan bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang majemuk—bukan
negara agama—maka kalau kita tidak arif, lapang, dan tidak maubelajar
dari sejarah, tragedi konflik berdarah darah atas nama Tuhan, rasul, dan
agama akan terjadi lagi dan lagi di bumi kita yang hijau, subur, dan
indah ini. Ketika keanggunan dan keindahan pesan dasar agama dibungkus
dengan wajah masam dan bengis, agama akan tergeser ke pinggir.
Orang
lalu akan beralih pada ideologi humanisme dan gegap gempita menerima
kehadiran sains dan teknologi yang menawarkan hidup lebih nyaman secara
teknikal dan tidak membedakan ras, suku, dan agama. Semuanya merasa tidak
nyaman hidup tanpa telepon, mobil, televisi, kulkas, dan kartu kredit.
Kenyamanan itu mesti menjadi lebih nyaman lagi dengan pesan agama yang
santun dan damai. Bukan sebaliknya, agama sumber pertikaian.(snd)
*) Rektor UIN Syarif Hidayatullah
About the Author
Write admin description here..
Get Updates
Subscribe to our e-mail newsletter to receive updates.
Share This Post
Related posts
0 comments: